Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #19

Serangan Para Hantu

Euforia kemenangan dari serangan umpan api tidak berlangsung lama di atas geladak kapal komando Armada Pasukan Bayangan Laut. Sorak-sorai para prajurit dengan cepat diredam oleh perintah Laksamana Nala, digantikan oleh kesibukan yang tegang dan terfokus. Dirgantara tahu, dan Nala setuju, bahwa kemenangan kecil mereka justru telah membangunkan seekor naga yang marah. Mereka telah menunjukkan taring mereka, dan kini armada Chola yang perkasa itu, yang dipimpin oleh seorang penjelajah waktu saingan, tidak akan lagi meremehkan mereka. Waktu untuk euforia akan datang nanti, jika mereka masih hidup untuk melihatnya. Sekarang adalah waktu untuk menekan, untuk terus menyerang selagi musuh masih terluka dan bingung.

“Mereka akan mengharapkan kita untuk mundur dan merayakan kemenangan,” kata Dirgantara pada Nala, suara mereka rendah di tengah kesibukan geladak. Peta laut kini diterangi oleh cahaya lentera yang ditutupi kain tebal. “Mereka akan berpikir kita akan menunggu pagi hari untuk melihat kerusakan yang telah kita timbulkan. Logika militer konvensional akan menyuruh mereka untuk memperketat formasi dan bersiap untuk serangan balasan saat fajar. Itulah mengapa kita harus menyerang sekarang, di puncak kegelapan.”

Nala menatap langit. Awan-awan tipis mulai menutupi bintang-bintang, dan bulan hanya sepotong sabit pucat yang sesekali terlihat. “Malam ini gelap,” katanya, sebuah senyum tipis yang dingin tersungging di bibirnya. “Malam yang sempurna untuk berburu.”

Rencananya, yang sekali lagi dirancang oleh pikiran Dirgantara yang melampaui zaman, adalah sebuah studi tentang kekejaman psikologis. Mereka tidak akan mencoba menenggelamkan kapal. Target mereka bukanlah lambung kapal musuh, melainkan jiwa para prajurit di dalamnya. Misi mereka adalah untuk menciptakan teror, untuk mengubah lautan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi armada Chola yang sedang berlabuh menjadi sebuah neraka yang tak terlihat.

Dirgantara menggunakan pengetahuannya tentang fase bulan dan pasang surut. Ia menunjuk sebuah titik waktu, tepat tiga jam setelah tengah malam. “Di sini,” katanya, menunjuk pada grafik pasang surut yang ia gambar di atas papan kayu. “Arus akan berbalik arah, mengalir keluar dari teluk. Ini akan membantu kapal-kapal kecil kita untuk mundur dengan cepat setelah serangan. Dan pada jam itu, bulan akan sepenuhnya tertutup awan. Kegelapan akan menjadi sekutu terbesar kita.”

Perintah disebarkan melalui sinyal lentera yang kompleks. Kali ini, bukan hanya Armada Pasukan  Bayangan Laut yang bergerak. Puluhan perahu nelayan kecil yang dikemudikan oleh para Orang Laut yang setia pada Zahira, yang sejak tadi bersembunyi di hutan-hutan bakau, kini ikut bergabung. Mereka adalah para hantu sesungguhnya di perairan ini.

Di bawah kegelapan malam tanpa bulan, armada hantu itu mulai bergerak. Puluhan perahu kecil Sriwijaya menyelinap di antara armada Chola yang sedang berlabuh. Kapal-kapal perang Chola yang raksasa itu kini tampak seperti jajaran bukit hitam yang sedang tidur, lampu-lampu obor mereka di geladak tampak seperti mata-mata api yang mengantuk. Para penjaga mereka, yang lelah dan terguncang setelah serangan api tadi siang, tidak akan menduga adanya serangan kedua di malam yang sama.

Lihat selengkapnya