Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #20

Mengatur Papan Catur Terakhir

Kemenangan ganda yang diraih oleh armada Sriwijaya, serangan umpan api di siang hari dan serangan para hantu di malam hari mengirimkan gelombang kejut ke kedua belah pihak. Di Palembang, kepanikan perlahan berubah menjadi harapan yang rapuh. Nama Laksamana Nala dan sang penasihat asingnya dielu-elukan dalam bisik-bisik di pasar dan kedai tuak. Di lautan, moral Armada Pasukan  Bayangan Laut melambung tinggi. Mereka telah menghadapi raksasa itu dan berhasil membuatnya berdarah.

Namun di atas kapal komando Naga Samudra, tidak ada perayaan. Dirgantara dan Nala tahu betul bahwa mereka hanya memenangkan pertempuran pembuka. Mereka belum memenangkan perang.

Laporan-laporan dari para pengintai Orang Laut yang datang silih berganti mengonfirmasi hal ini. Armada Chola tidak mundur. Sebaliknya, setelah satu hari penuh menjilat luka dan mengatur ulang formasi, mereka kembali bergerak. Tapi kini, cara mereka bergerak telah berubah. Formasi mereka yang tadinya arogan dan terpencar kini menjadi rapat dan disiplin, sebuah dinding perisai raksasa yang bergerak maju dengan kecepatan konstan. Tidak ada lagi pengejaran gegabah. Tidak ada lagi celah untuk disusupi.

“Dia sudah belajar,” kata Dirgantara pelan, jarinya menelusuri pergerakan terbaru armada Chola di atas peta. “Lawanku dari masa depan itu tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Ia tidak akan lagi terpancing oleh umpan kecil. Ia kini memaksa kita untuk keluar dan melakukan pertempuran terbuka.”

Nala menatap peta itu, wajahnya serius. “Jika kita bertarung secara terbuka, kita akan kalah. Jumlah mereka terlalu banyak.”

“Benar,” sahut Dirgantara. “Karena itu, kita tidak akan bertarung di tempat yang ia inginkan. Kita akan memilih medan perangnya sendiri. Sebuah tempat di mana jumlah mereka yang besar justru akan menjadi kelemahan terbesar mereka.”

Pikiran Dirgantara, yang dibantu oleh kemampuan analisis supercepat dari implannya, memproses semua variabel: kecepatan armada Chola, kekuatan arus, pola angin, dan topografi dasar laut Selat Malaka. Ia menyaring ratusan kemungkinan, mencari satu titik, satu momen di mana semua elemen alam dan strategi berpihak pada mereka. Dan ia menemukannya.

Ia menunjuk sebuah selat sempit di peta, sebuah jalur di antara pulau Tumasik dan gugusan pulau-pulau kecil di sekitarnya. “Di sini,” katanya. “Berdasarkan kecepatan dan arah mereka saat ini, armada utama Chola akan melewati selat ini dalam waktu kurang dari dua hari. Ini adalah rute tercepat dan terdalam bagi kapal-kapal besar mereka untuk menuju Palembang.”

“Selat Tumasik,” bisik Nala, matanya menyipit saat ia memahami implikasinya. “Sempit, arusnya kuat, dan dikelilingi oleh puluhan teluk tersembunyi. Sebuah tempat yang sempurna untuk penyergapan.”

Lihat selengkapnya