Penantian adalah sebuah bentuk penyiksaan yang unik. Selama berjam-jam, di atas bukit di pulau Tumasik, Dirgantara dan Laksamana Nala menunggu dalam keheningan, ditemani hanya oleh desau angin laut dan detak jantung mereka sendiri. Di bawah mereka, tersembunyi di lusinan teluk dan ceruk, seluruh armada Sriwijaya menahan napas, menjadi bagian dari lanskap, menunggu mangsanya masuk ke dalam perangkap. Setiap menit terasa seperti satu jam. Kegelisahan mulai merayap di antara para prajurit. Apakah prediksinya salah? Apakah armada Chola mengambil rute lain?
Dirgantara sendiri merasakan keraguan yang dingin mulai menyentuh hatinya. Seluruh nasib kerajaan ini dipertaruhkan pada analisis datanya. Jika ia salah …
Tepat saat keraguan itu mencapai puncaknya, seorang pengintai Orang Laut yang ditempatkan di titik tertinggi pulau memberikan sinyal yang telah disepakati: tiga kepulan asap putih ke langit.
Mereka datang.
Dirgantara dan Nala segera mengarahkan teropong mereka ke mulut utara selat. Awalnya, yang terlihat hanyalah titik-titik hitam kecil di cakrawala. Namun perlahan-lahan, titik-titik itu tumbuh, membesar, dan akhirnya mengungkapkan bentuk mereka yang sesungguhnya. Dan pemandangan itu, bahkan bagi Dirgantara yang telah melihat keajaiban dari masa depan, terasa begitu mengerikan hingga napasnya tercekat.
Armada Chola memasuki Selat Malaka. Jumlahnya mengerikan. Ratusan kapal perang berbaris dengan formasi yang disiplin dan arogan. Di barisan terdepan adalah kapal-kapal serbu yang cepat, lambungnya yang ramping membelah air seperti pisau. Di belakang mereka, kapal-kapal perang utama yang lebih besar, dhow-dhow raksasa dengan beberapa tingkat geladak, dihiasi panji-panji bergambar harimau yang tampak menyeringai. Dan di jantung armada itu, berlayar lima kapal komando raksasa, istana-istana terapung yang di atasnya berdiri menara-menara gading, simbol dari kekuatan dan kekayaan Kerajaan Chola.
Mereka tidak berlayar dengan waspada. Mereka berparade. Suara genderang perang mereka terdengar menggema di antara pulau-pulau, sebuah pengumuman sombong akan kedatangan mereka, sebuah tantangan bagi siapa pun yang berani menghalangi jalan mereka. Skala invasi ini jauh melampaui perkiraan terburuk sekalipun.
“Demi para dewa lautan …” bisik Nala di samping Dirgantara, wajahnya pucat namun matanya berkilat menahan amarah dan kekaguman yang aneh. “Mereka membawa seluruh kekuatan kerajaan mereka kemari.”
“Mereka tidak menduga adanya perlawanan,” kata Dirgantara. “Agen Pembelot itu pasti telah meyakinkan mereka bahwa Sriwijaya sudah lumpuh dari dalam. Keangkuhan adalah kelemahan mereka.”
Armada Chola terus bergerak maju, masuk lebih dalam ke dalam selat yang sempit, sama sekali tidak menyadari ratusan mata yang sedang mengawasi mereka dari persembunyian. Mereka terlalu fokus pada tujuan akhir mereka, Palembang, hingga tidak menyadari bahwa dinding-dinding perangkap di sekeliling mereka mulai menutup.
Nala menunggu. Ia menunggu dengan kesabaran seorang pemburu, membiarkan mangsanya masuk lebih dalam, semakin jauh dari jalan keluar. Ia menunggu hingga sebagian besar armada Chola telah melewati titik tersempit di selat itu. Lalu, ia memberikan perintah.