Perintah Laksamana Nala membelah udara yang sarat akan bau asap dan ketakutan, sebuah pekikan tunggal yang menjadi aba-aba bagi neraka untuk terlepas. Armada Pasukan Bayangan Laut, tiga puluh kapal peronda yang tadinya menunggu seperti buaya di tepi sungai, kini menerjang maju dari persembunyian mereka di sisi utara selat. Mereka tidak menyerang dalam satu garis lurus yang bodoh, melainkan dalam formasi Gerombolan Serigala yang telah mereka latih dalam kegelapan. Mereka menyebar, meluncur di atas air seperti bilah-bilah pisau yang dilemparkan, menuju lambung-lambung kapal Chola yang besar dan canggung.
Pertempuran jarak dekat yang brutal pun terjadi.
Bagi para prajurit Chola yang terperangkap, ini adalah sebuah mimpi buruk. Mereka terjebak, kapal-kapal mereka berdesakan dan tidak bisa bermanuver. Mereka seperti sekawanan gajah raksasa yang diserang oleh kawanan lebah pembunuh dari segala arah. Kapal-kapal Sriwijaya yang kecil dan lincah menari-nari di antara mereka, terlalu cepat untuk dibidik oleh katapel-katapel besar, terlalu dekat untuk dihujani anak panah secara efektif.
Di atas geladak kapal komando Naga Samudra, Dirgantara berdiri di samping Nala, bukan lagi sebagai penasihat, melainkan sebagai bagian dari pusat saraf pertempuran. Implannya bekerja pada kapasitas maksimum, memproses ribuan titik data secara bersamaan. Pergerakan setiap kapal, kecepatan angin, kekuatan arus, bahkan teriakan para komandan Chola yang berhasil ia tangkap dan terjemahkan. Papan catur di benaknya kini hidup, setiap bidaknya bergerak dalam waktu nyata.
“Armada Pasukan Harimau mereka di sisi barat mencoba untuk memutar haluan!” teriak seorang perwira pengintai dari tiang utama.
“Itu jebakan!” kata Dirgantara cepat, matanya terpaku pada pola pergerakan musuh di dalam benaknya. “Agen Pembelot itu mencoba memancing kita untuk memecah serangan. Abaikan mereka. Target kita tetap sama.”
“Kau dengar itu!” aum Nala kepada para juru sinyalnya. “Semua unit, pertahankan tekanan pada kapal-kapal komando di tengah! Jangan terpancing! Biarkan dinding perisai di selatan menahan mereka!”
Di ujung selatan selat, dinding perisai pimpinan Laksamana Yudhakara menjadi benteng yang tak tergoyahkan. Kapal-kapal Chola yang panik mencoba mendobrak barisan itu, menghantamkan lambung mereka dengan putus asa. Namun, para prajurit Sriwijaya, yang kini bertarung demi mempertahankan rumah mereka, menahan gempuran itu dengan keberanian seekor singa. Mereka melemparkan gancu-gancu besi, mengikat kapal musuh, dan mengubah pertempuran laut itu menjadi pertarungan darat di atas geladak yang bergoyang.
Sementara itu, Armada Pasukan Bayangan Laut terus menari di antara kekacauan. Mereka tidak mencoba menenggelamkan kapal-kapal raksasa itu. Misi mereka adalah melumpuhkan. Para pemanah terbaik mereka, yang dilatih oleh Laksana, menembakkan anak-anak panah berapi bukan ke geladak, melainkan ke tali-temali yang menahan tiang layar. Saat layar-layar raksasa itu terbakar dan runtuh, kapal-kapal Chola itu menjadi lumpuh, tak berdaya terbawa arus. Prajurit-prajurit lain melemparkan tombak-tombak pendek yang ujungnya diikatkan pada tali rami yang kuat, menargetkan dayung-dayung kemudi, merusaknya, membuat kapal-kapal itu berputar tak terkendali.
Ini bukanlah pertempuran yang terhormat. Ini adalah pembantaian yang efisien.