Saat kaki Dirgantara mendarat di atas geladak gading kapal komando Chola yang megah, dunia seolah meledak menjadi sebuah neraka yang kacau. Udara yang tadinya hanya berbau garam dan angin laut kini dipenuhi oleh bau anyir darah, bau hangus dari api kecil yang mulai menyala, dan pekikan perang yang memekakkan telinga dalam dua bahasa yang saling beradu. Ini adalah pertempuran jarak dekat yang paling brutal, sebuah pusaran kekerasan di mana strategi agung tidak lagi berarti, dan yang tersisa hanyalah keberanian, keahlian, dan nasib.
Para prajurit Chola, yang dikenal sebagai pengawal pribadi kaisar, adalah petarung-petarung elite. Mereka pulih dari keterkejutan awal dengan cepat dan membentuk barisan pertahanan yang rapat, perisai-perisai bundar mereka menciptakan dinding baja yang kokoh. Pedang-pedang melengkung mereka yang tajam menebas dengan disiplin yang mematikan.
Namun, prajurit-prajurit Armada Pasukan Bayangan Laut bukanlah prajurit biasa. Mereka adalah para hantu yang telah dilatih dalam kegelapan. Mereka tidak melawan dinding itu secara langsung. Mereka bergerak lincah, bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, menggunakan kecepatan dan kelicikan mereka untuk mengganggu formasi, menyerang dari sisi, dan menciptakan celah.
Di tengah-tengah semua itu, Laksamana Nala bertarung seperti seekor naga yang mengamuk. Ia tidak lagi hanya seorang komandan yang memberi perintah dari kejauhan. Ia berada di barisan terdepan, pedangnya yang panjang menjadi perpanjangan dari amarah dan tekadnya. Setiap tebasannya adalah sebuah pernyataan, setiap teriakannya membangkitkan semangat anak buahnya. Ia bertarung demi rajanya, demi kotanya, dan demi kepercayaan yang telah diletakkan di pundaknya yang masih muda. Ia adalah jantung yang memompa keberanian ke seluruh pasukan penyerbu Sriwijaya.
Dirgantara bergerak di sisinya, namun gaya bertarungnya sangat berbeda. Jika Nala adalah badai yang mengamuk, maka Dirgantara adalah keheningan yang mematikan di pusat badai itu. Implannya bekerja dengan efisiensi yang dingin, mengubah kekacauan di sekelilingnya menjadi aliran data yang teratur. Di matanya, setiap serangan musuh adalah sebuah vektor ancaman yang bisa dihitung, setiap gerakan adalah sebuah variabel dalam persamaan pertempuran.
Kujang Pusaka Naga di tangannya bergerak dengan presisi yang tidak manusiawi. Ia tidak membuang satu gerakan pun. Ia tidak menangkis jika ia bisa mengelak. Ia tidak mengelak jika ia bisa menyerang lebih dulu. Gerakannya adalah perpaduan aneh antara keluwesan pencak silat yang ia pelajari dari data dan efisiensi brutal dari program tempur abad ke-21. Para prajurit Chola yang mencoba menghadapinya menjadi bingung; mereka belum pernah melihat gaya bertarung seperti ini, begitu cair namun begitu mematikan.
Saat ia menangkis sebuah tebasan yang mengarah ke leher Nala, sebuah ingatan melintas di benaknya: sore yang tenang di Trowulan, Ratna Laras mengajarinya cara menggunakan putaran pinggul untuk menambah kekuatan pada tangkisan. Secara naluriah, ia menerapkan pelajaran itu, dan kekuatan tangkisannya membuat pedang prajurit Chola itu terlepas dari genggamannya. Ia tidak hanya bertarung demi Sriwijaya; ia bertarung untuk menghormati setiap pelajaran, setiap pengorbanan, dan setiap kepercayaan yang telah diberikan padanya di sepanjang perjalanannya melintasi waktu.
Namun, targetnya yang sesungguhnya bukanlah para prajurit ini. Di tengah kekacauan, matanya terus memindai geladak, mencari satu wajah, satu sosok yang ia tahu pasti ada di sini. Sang sutradara di balik semua ini. Agen Pembelot itu.
Dan ia menemukannya.