Di atas geladak kapal komando Chola yang kini telah direbut, keheningan sesaat setelah duel terasa lebih memekakkan telinga daripada denting pedang. Sisa-sisa adrenalin masih membakar di pembuluh darah Dirgantara, namun kini digantikan oleh rasa sakit yang tajam dari lukanya dan kelelahan yang luar biasa di seluruh tulangnya. Ia menatap mayat-mayat prajurit Chola yang bergelimpangan, lalu pada para prajurit Sriwijaya yang terluka namun masih berdiri, dan ia tidak merasakan euforia kemenangan. Hanya ada rasa getir dari sebuah pertarungan brutal yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Laksamana Nala, dengan luka goresan di pipinya, menyandarkan tubuhnya yang lelah di tiang layar utama, pedangnya terasa begitu berat di tangannya. Ia menatap anak buahnya yang tersisa, matanya menunjukkan campuran antara kebanggaan dan kesedihan yang mendalam. Mereka telah merebut jantung sang naga, namun pengorbanan yang mereka berikan sangatlah besar. Kemenangan ini terasa pahit, sebuah kemenangan yang diraih dengan darah.
Dari menara pengintai kapal komando yang tinggi ini, mereka kini memiliki pemandangan yang jelas ke seluruh medan pertempuran. Dan pemandangan itu sama sekali tidak menenangkan.
Meskipun komando utama Chola telah lumpuh, tubuh naga raksasa itu masih mengamuk. Ratusan kapal perang mereka, yang kini bergerak tanpa koordinasi terpusat, menyerang dengan amukan buta. Mereka seperti sekawanan banteng yang terluka, menyeruduk ke segala arah. Di ujung selatan selat, Dinding Perisai Sriwijaya, yang telah kehilangan komandannya Laksamana Yudhakara, mulai retak. Beberapa kapal Chola berhasil menerobos, menciptakan kekacauan di barisan belakang pertahanan.
“Mereka terlalu banyak,” kata Nala, suaranya serak karena kelelahan sambil menatap pemandangan itu. “Kita telah memenggal kepalanya, tapi tubuhnya masih meremukkan kita. Kita tidak akan bisa bertahan selamanya. Dinding Perisai tidak akan kuat menahan gempuran itu lebih lama lagi.”
Ini adalah saat kritis. Mereka telah memenangkan pertempuran taktis di kapal ini, namun mereka berada di ambang kekalahan strategis. Harapan yang tadinya membuncah kini kembali meredup, terancam ditelan oleh gelombang keputusasaan yang dingin. Setiap prajurit Sriwijaya yang tersisa kini bertarung hanya dengan sisa-sisa kekuatan dan keberanian mereka, menunggu akhir yang tak terhindarkan.
Saat itulah, seorang pengintai dari puncak tiang layar berteriak, suaranya pecah karena campuran rasa tidak percaya dan ketakutan yang baru. “Kapal-kapal lain! Armada lain dari arah selatan! Menuju kemari! Jumlahnya puluhan!”
Hati setiap prajurit Sriwijaya di geladak itu serasa jatuh ke perut mereka. Bala bantuan Chola. Itulah satu-satunya penjelasan yang masuk akal. Musuh telah mengantisipasi kekalahan kapal komando mereka dan telah menyiapkan gelombang serangan kedua yang akan menyapu bersih mereka semua. Ini adalah akhir dari segalanya. Nala mengangkat teropong perunggunya dengan tangan gemetar, mengarahkannya ke cakrawala di selatan. Dirgantara menahan napas, implannya mencoba memperbesar citra visual yang masih kabur.
Namun, kapal-kapal yang muncul itu aneh. “Bukan kapal perang,” bisik Nala, nadanya penuh kebingungan. “Lihat layarnya. Itu … itu layar persegi khas kapal jung. Dan yang itu … layar segitiga khas kapal dhow. Itu … itu kapal-kapal dagang.”
Dirgantara mengambil alih teropong itu. Jantungnya mulai berdebar, bukan karena takut, melainkan karena sebuah harapan yang gila. Ia melihatnya dengan jelas. Sebuah armada yang aneh dan beragam: kapal-kapal jung Tiongkok yang besar dan tinggi, dhow-dhow Arab yang ramping dan cepat, serta puluhan perahu niaga Melayu yang lincah. Dan di tiang tertinggi setiap kapal itu, berkibar bukan panji-panji perang, melainkan panji-panji dari berbagai persekutuan dagang. Armada bayangan.