Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #25

Gema Kemenangan di Atas Gelombang

Lautan tidak pernah benar-benar diam, tetapi di saat-saat setelah pertempuran usai, keheningan yang menyelimuti Selat Tumasik terasa absolut dan berat. Asap hitam tebal dari kapal-kapal pasokan Chola yang terbakar masih membumbung tinggi ke langit, menciptakan pilar-pilar duka yang menandai kuburan dari sebuah ambisi agung. Air laut yang tadinya biru kini tampak kotor, dipenuhi oleh serpihan-serpihan kayu, layar-layar yang sobek, dan benda-benda lain yang terlempar dari kapal dalam kekacauan pertempuran. Di antara puing-puing itu, mayat-mayat mengapung dalam keheningan yang mengerikan, saksi bisu dari keganasan yang baru saja terjadi.

Perburuan telah dimulai. Armada Pasukan Bayangan Laut yang lincah, yang tadinya berfungsi sebagai hantu, kini telah berubah menjadi sekawanan serigala laut yang lapar. Dipimpin langsung oleh Laksamana Nala di atas Sang Hantu Laut, mereka mengejar sisa-sisa armada Chola yang melarikan diri dengan brutal. Kemarahan atas jatuhnya Laksamana Yudhakara dan ratusan prajurit Sriwijaya lainnya menuntut pembalasan.

“Kejar kapal dengan panji harimau emas itu!” teriak Nala, menunjuk ke arah sebuah kapal komando Chola yang terluka dan mencoba melarikan diri. “Itu kapal yang memimpin penyerangan ke Dinding Perisai! Jangan biarkan mereka lolos!”

Nalurinya sebagai prajurit mengambil alih. Ia ingin menghancurkan mereka semua, menghapus ancaman ini dari muka bumi hingga ke akar-akarnya. Namun, Dirgantara, yang berdiri di sampingnya dengan wajah pucat karena kelelahan, meletakkan sebuah tangan di bahu sang laksamana muda.

“Nala, cukup,” katanya pelan, suaranya nyaris hilang ditelan angin.

“Cukup?” balas Nala, menoleh dengan mata menyala-nyala karena amarah dan adrenalin. “Mereka membunuh orang-orang kita! Mereka akan kembali jika kita membiarkan mereka lolos!”

“Mereka tidak akan kembali,” kata Dirgantara, tatapannya tenang namun menusuk. “Lihatlah mereka. Mereka hancur. Mereka tidak lagi memiliki komando, tidak memiliki pasokan, tidak memiliki semangat. Mengejar mereka lebih jauh ke lautan terbuka hanya akan mengorbankan lebih banyak prajurit kita dengan sia-sia.” Ia berhenti sejenak, membiarkan logikanya meresap. “Tujuan kita adalah melindungi Sriwijaya, bukan menaklukkan Chola. Keseimbangan telah pulih. Jangan nodai kemenangan ini dengan menjadi sama seperti mereka.”

Kata-kata “keseimbangan” itu seolah menyentuh sesuatu di dalam diri Nala. Ia menatap Dirgantara, lalu ke arah Kujang Naga yang terselip di pinggang penasihatnya itu. Ia teringat pada filosofi aneh namun bijaksana yang pernah Dirgantara singgung. Setelah pertarungan batin yang terlihat jelas di wajahnya, amarah di mata Nala perlahan surut, digantikan oleh kelelahan seorang komandan yang telah melihat terlalu banyak kematian dalam satu hari. Ia mengangguk pelan.

Dengan berat hati, ia mengangkat tangannya dan memberikan sinyal untuk berhenti mengejar. Perburuan pun usai. Sisa-sisa armada Chola yang tadinya perkasa itu kini terpukul dan tercerai-berai, tertatih-tatih berlayar kembali ke negeri mereka, membawa serta kabar kekalahan yang memalukan.

Lihat selengkapnya