Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #26

Mahkota Sang Pahlawan

Perjalanan pulang adalah sebuah pelayaran yang sunyi. Armada Sriwijaya yang babak belur itu bergerak perlahan di atas lautan yang kini tenang, seolah samudra sendiri sedang berduka, menahan napas setelah amukan badai baja yang baru saja berlalu. Tidak ada lagi sorak-sorai kemenangan. Para prajurit kini sibuk dalam ritual-ritual kuno yang khusyuk. Mereka menaburkan bunga-bunga rampai ke lautan untuk menghormati arwah rekan-rekan mereka yang telah gugur, tubuh mereka yang tak ditemukan kini telah bersatu dengan samudra yang mereka jaga. Para tabib bekerja tanpa henti di geladak-geladak yang telah diubah menjadi rumah sakit darurat, aroma ramuan obat-obatan bercampur dengan bau asin angin laut.

Dirgantara menghabiskan sebagian besar waktunya bersama Laksamana Nala, bukan lagi untuk merancang strategi, melainkan untuk melakukan tugas seorang komandan yang paling berat: mengunjungi yang terluka. Ia mendengarkan cerita-cerita mereka, memegang tangan mereka yang gemetar, menawarkan kata-kata penghiburan yang terasa hampa di hadapan penderitaan yang begitu nyata. Di mata para prajurit itu, ia bukan lagi sekadar penasihat asing; ia adalah salah satu dari mereka, seseorang yang telah berdiri bersama mereka di tepi neraka. Ikatan yang ditempa dalam pertempuran adalah ikatan yang paling kuat, dan kini, tanpa ia sadari, ia telah menjadi bagian dari keluarga besar Skuadron Bayangan Laut.

Nala sendiri tampak telah menua sepuluh tahun dalam beberapa hari. Beban komando dan kehilangan telah mengukir garis-garis baru di wajahnya yang muda. Namun, di matanya, ada sebuah cahaya baru. Cahaya kebijaksanaan dan otoritas yang lahir dari pengalaman pahit. Ia bukan lagi seorang komandan muda yang idealis; ia adalah seorang laksamana agung yang telah teruji oleh api.

Saat garis pantai Sumatra akhirnya terlihat di cakrawala, sebuah perahu pengintai yang cepat menyambut mereka, membawa kabar pertama dari Palembang. Kabar kemenangan mereka, yang dikirimkan lebih dulu oleh kapal kurir tercepat Zahira, telah sampai di ibu kota.

Dan ibu kota telah bersiap untuk menyambut pahlawan-pahlawannya.

Saat armada mereka yang perkasa namun terluka itu mulai memasuki muara Sungai Musi yang lebar, pemandangan yang menyambut mereka begitu luar biasa hingga membuat para prajurit yang paling keras sekalipun meneteskan air mata. Seluruh kota Palembang seolah tumpah ruah di kedua tepi sungai. Puluhan ribu orang, pedagang, nelayan, pengrajin, biksu, bangsawan, dan rakyat jelata berbaris, melambai-lambaikan daun kelapa dan panji-panji berwarna-warni. Suara gamelan dan genderang ditabuh dari setiap dermaga, bukan lagi sebagai genderang perang, melainkan sebagai musik perayaan yang gegap gempita. Teriakan-teriakan penuh sukacita membahana, menggema di atas permukaan air, menyambut kepulangan mereka.

“SELAMAT DATANG KEMBALI, PARA NAGA LAUTAN!”

“SRIWIJAYA JAYA! JAYA! JAYA!”

Kabar kemenangan disambut dengan perayaan gegap gempita di Palembang. Dari atas geladak kapal komando Chola yang telah mereka rebut kini menjadi trofi kemenangan terbesar mereka. Dirgantara, Nala, dan para prajurit yang selamat menyaksikan semua itu dengan perasaan campur aduk. Kelelahan dan duka mereka seolah tersapu oleh gelombang kebahagiaan yang begitu besar dari rakyat yang telah mereka selamatkan. Beban di pundak mereka terasa sedikit lebih ringan. Pengorbanan mereka tidak sia-sia.

Lihat selengkapnya