Euforia adalah candu yang manis namun berbahaya. Selama seminggu setelah kemenangan gemilang di Selat Tumasik, seluruh Palembang mabuk olehnya. Kota yang tadinya dicekam oleh ketakutan kini meledak dalam perayaan yang seolah tak berkesudahan. Lagu-lagu kepahlawanan baru diciptakan untuk Laksamana Nala dan Armada Pasukan Bayangan Laut-nya. Para juru kidung di setiap sudut jalan menceritakan kembali kisah tentang saudagar asing misterius yang strateginya menaklukkan armada terkuat di dunia. Dan nama Zahira binti Khalid dielu-elukan sebagai penyelamat, sang ratu saudagar yang jaringan informasinya telah menjadi perisai bagi kerajaan.
Namun, di balik semua tawa dan arak kemenangan itu, sebuah arus bawah yang lebih dingin dan lebih gelap mulai terbentuk. Dirgantara, yang kini diberi tempat tinggal kehormatan di dalam kompleks istana, adalah orang pertama yang merasakannya. Ia melihat bagaimana para saudagar yang tadinya gemetar ketakutan di dalam gudang rempah, kini berjalan di jalanan Palembang dengan dada membusung dan dagu terangkat. Mereka tidak lagi hanya pedagang kaya; mereka adalah para pahlawan perang, para pemodal kemenangan. Dan status baru itu datang dengan sebuah nafsu baru.
Benih keserakahan yang ia lihat pada malam perayaan pertama itu, kini telah mulai bertunas.
Pertemuan Persekutuan Saudagar diadakan kembali, bukan lagi secara rahasia di gudang yang pengap, melainkan secara terbuka di balai pertemuan termegah milik keluarga Khalid. Dirgantara diundang sebagai tamu kehormatan. Ruangan itu dipenuhi oleh orang-orang yang sama, namun suasana telah berubah total. Tidak ada lagi ketakutan, hanya ada arogansi kemenangan.
“Kemenangan ini adalah bukti,” kata Kapten Ibrahim, saudagar Parsi yang berpengaruh itu, suaranya menggelegar di ruangan. “Bukti bahwa takdir perdagangan di samudra ini ada di tangan kita! Chola telah mundur, meninggalkan kekosongan kekuasaan yang begitu besar. Apakah kita akan diam saja dan menunggu kekuatan lain mengisinya?”
“Tentu tidak!” sahut Kapten Liem, saudagar Tionghoa tua itu, matanya yang sipit berkilat tajam. “Lautan tidak menyukai kekosongan. Jika bukan kita yang mengisinya, maka orang lain yang akan melakukannya. Ini adalah kesempatan emas yang diberikan oleh para dewa kepada kita!”
Dirgantara mendengarkan dalam diam, rasa mual yang dingin mulai menjalari perutnya. Ia menatap Zahira, yang duduk di kursi pimpinan, wajahnya tenang namun tatapannya sulit dibaca. Ia berharap Zahira, dengan mimpinya tentang perdagangan yang didasari oleh kepercayaan, akan meredam semangat yang berbahaya ini.
Namun, Zahira berada dalam posisi yang sulit. Ia adalah pemimpin dari persekutuan ini, dan ia bisa merasakan gelombang keserakahan yang meluap dari para sekutunya. Menentang mereka secara langsung berarti menghancurkan aliansi yang baru saja menyelamatkan kerajaan.
“Apa yang kalian usulkan?” tanya Zahira, suaranya hati-hati.
“Usulkan?” ulang Kapten Ibrahim sambil tertawa. “Ini bukan lagi usulan, Nona Zahira. Ini adalah sebuah keharusan! Kita harus mendesak Raja untuk mengambil alih semua jalan dagang yang ditinggalkan Chola. Bukan hanya mengambil alih, tapi menguasainya secara penuh. Kita akan tempatkan kapal-kapal patroli kita di setiap selat utama. Setiap kapal yang ingin lewat harus membayar pajak kepada Sriwijaya. Kita akan menjadi gerbang tunggal antara timur dan barat!”