Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #28

Perpisahan yang Pahit

Beberapa minggu berlalu sejak kemenangan di Selat Tumasik. Palembang telah berubah. Energi perayaan yang gegap gempita perlahan surut, digantikan oleh denyut energi baru yang lebih agresif, lebih tajam, dan penuh ambisi. Dirgantara merasakannya setiap kali ia berjalan melewati jalanan kota. Ia melihat prajurit-prajurit Sriwijaya yang kini berpatroli dengan dagu terangkat, tatapan mereka tidak lagi waspada, melainkan angkuh. Ia melihat para saudagar yang tadinya menjadi sekutunya, kini membentuk kelompok-kelompok eksklusif, berbisik tentang monopoli dan rute dagang yang harus "diamankan".

Suatu sore, saat ia berjalan melewati pasar yang pernah ia selamatkan dari keributan, ia menyaksikan sebuah adegan yang membuat hatinya terasa dingin. Ia melihat sekelompok prajurit bayaran yang kini bekerja untuk persekutuan saudagar sedang bersitegang dengan seorang pedagang dari Champa. Bukan lagi perdebatan harga yang wajar, melainkan sebuah intimidasi yang terang-terangan.

“Pajak keamanan,” kata pemimpin prajurit bayaran itu dengan senyum sinis, tangannya menepuk-nepuk gagang pedangnya. “Semua kapal yang bersandar di pelabuhan Sriwijaya yang agung harus menyumbang demi ketertiban.”

Pedagang Champa yang ketakutan itu tidak punya pilihan selain menyerahkan beberapa keping perak. Dirgantara berdiri membeku di kejauhan. Ia mengenali pemandangan itu. Itu adalah cerminan dari kesombongan Majapahit yang pernah ia lawan. Ia telah berjuang begitu keras untuk menyelamatkan Sriwijaya dari kehancuran, hanya untuk menyaksikan kerajaan itu mulai mengenakan topeng yang sama seperti musuh yang telah mereka kalahkan. Filosofi sang naga, penjaga keseimbangan, terasa seperti sebuah lelucon yang pahit. Keseimbangan tidak pernah pulih; ia hanya bergeser dari satu sisi timbangan ke sisi yang lain.

Ia tahu waktunya di sini telah berakhir. Ia tidak memiliki tempat dalam dunia baru yang serakah ini. Tinggal lebih lama hanya akan memperpanjang penderitaannya dan memberikan harapan palsu pada satu-satunya orang yang kini paling ingin ia lindungi dari dirinya sendiri: Zahira.

Keputusan itu terasa seperti menghunus pedang dan menusukkannya ke jantungnya sendiri, namun ia tahu ia harus melakukannya. Ia tidak mengatur sebuah pertemuan perpisahan yang resmi. Itu akan terlalu menyakitkan, terlalu formal. Sebaliknya, ia berencana untuk pergi dalam senyap, seperti saat ia datang. Ia mengemasi satu-satunya miliknya, pakaian pengembaranya dan Kujang Pusaka Naga dan menunggu hingga senja tiba.

Ia memilih sebuah dermaga kecil yang sudah tua di bagian pelabuhan yang lebih sepi, tempat para nelayan biasa menambatkan perahu mereka. Ia berdiri di sana untuk terakhir kalinya, menatap Sungai Musi yang berwarna keemasan di bawah cahaya matahari terbenam, mencoba untuk mengukir pemandangan itu dalam ingatannya.

“Kau benar-benar akan pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal?”

Suara itu datang dari belakangnya, lembut namun sarat akan kepedihan. Dirgantara memejamkan matanya sejenak, hatinya terasa sesak. Tentu saja Zahira akan menemukannya. Jaringan intelijen wanita itu bisa menemukan sebutir jarum di tumpukan jerami, apalagi menemukan seorang lelaki yang telah merebut hatinya.

Ia berbalik. Zahira berdiri di sana, sendirian. Ia tidak mengenakan jubah saudagarnya yang megah, hanya pakaian sederhana yang membuatnya tampak lebih muda dan lebih rentan. Topeng pemimpin yang dingin dan penuh perhitungan yang ia kenakan sejak pertemuan dewan itu telah luruh, meninggalkan seorang perempuan yang matanya penuh harapan dan cinta, namun juga penuh ketakutan.

Lihat selengkapnya