Berjalan menjauh dari Zahira adalah tindakan paling sulit yang pernah Dirgantara lakukan, sebuah penyiksaan yang jauh lebih personal daripada menghadapi bilah keris Gajah Mada atau senapan pulsa mantan rekan-rekannya. Setiap langkah terasa seperti menarik kakinya keluar dari lumpur hisap yang tebal, menjauh dari secercah kehangatan menuju kedinginan yang abadi. Punggungnya bisa merasakan tatapan mata wanita itu, sebuah tatapan yang penuh dengan pertanyaan tak terjawab dan kepedihan yang sunyi. Ia memaksa dirinya untuk tidak menoleh ke belakang, tahu bahwa jika ia melihat wajah Zahira sekali lagi, seluruh benteng pertahanan disiplin yang telah ia bangun selama bertahun-tahun akan runtuh menjadi puing-puing.
Ia berjalan, bukan sebagai pahlawan yang dielu-elukan, melainkan sebagai hantu yang menyelinap pergi di antara bayang-bayang senja. Ia tidak kembali ke istana. Tidak ada lagi yang tersisa untuknya di sana. Sebaliknya, ia menyusuri jalan-jalan belakang yang lebih sepi, jalan-jalan yang digunakan oleh para nelayan dan kuli angkut, menjauh dari pusat kota yang megah.
Palembang di kala senja adalah sebuah lukisan yang hidup. Aroma masakan berempah menguar dari jendela-jendela rumah panggung, bercampur dengan bau asin dari jala ikan yang sedang dijemur. Anak-anak kecil tertawa sambil mengejar layang-layang di tanah lapang. Para pedagang menutup kios mereka, suara mereka terdengar lelah namun puas setelah seharian bekerja. Ini adalah potret sebuah kota yang damai dan hidup, sebuah kota yang berhasil ia selamatkan dari amukan api perang.
Seharusnya ia merasa bangga. Seharusnya ia merasakan kehangatan dari pencapaiannya. Namun, yang ia rasakan hanyalah kekosongan yang dingin. Setiap tawa yang ia dengar, setiap pemandangan keluarga yang sedang berkumpul, terasa seperti sebuah sayatan di hatinya, sebuah pengingat akan kehidupan normal yang tidak akan pernah bisa ia miliki. Ia melihat fondasi dari mimpi Zahira, sebuah dunia yang terhubung oleh kehidupan, bukan oleh perang dan ia tahu bahwa ia, sang arsitek kemenangan, tidak akan pernah bisa menjadi bagian dari bangunan itu.
Perjalanannya berakhir di sebuah tempat terpencil di tepi Sungai Musi, beberapa kilometer di hilir dari pelabuhan utama. Di sini, sungai mengalir lebih tenang, dan satu-satunya suara adalah gemerisik daun dari rumpun-rumpun bambu dan desau angin yang melewati ilalang. Beberapa perahu nelayan tua tertambat di tepian, bergoyang lembut di atas air yang berwarna jingga karena pantulan langit senja. Tempat ini terasa seperti berada di ujung dunia, sebuah tempat yang sempurna untuk menghilang.
Dirgantara duduk di atas sebuah batu besar yang datar, menatap ke arah matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala. Ini adalah momen kebenaran. Momen di mana ia harus menghadapi dirinya sendiri, tanpa ada lagi konspirasi untuk dipecahkan atau pertempuran untuk direncanakan.
Ia menghunus Kujang Pusaka Naga dari sarungnya. Bilah pusaka itu menangkap sisa-sisa cahaya senja, memantulkan warna keemasan yang hangat. Ia menelusuri ukiran naga di gagangnya dengan ibu jarinya, dan pikirannya melayang melintasi abad. Ia teringat pada Ratna Laras, pada sumpahnya, pada perpisahan pertama yang penuh dengan tugas dan kehormatan. Ia teringat pada tatapan mata wanita itu saat menyerahkan pusaka ini, sebuah tatapan yang berkata, “Kembalikan keseimbangan itu, dan kembalikan pusaka ini kepadaku.” Sebuah janji untuk kembali yang ia tahu mungkin tidak akan pernah bisa ia penuhi. Beban dari janji yang tak pasti itu terasa berat di dadanya.