Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #30

Konsekuensi Kemenangan

Kembali ke tahun 2070 terasa seperti terlempar dari dunia yang penuh warna ke dalam sebuah ruangan hampa yang putih dan sunyi. Proses lompatan waktu yang dilakukan dalam pelarian terasa lebih kasar, lebih brutal. Dirgantara terwujud bukan di koridor Lembaga yang steril, melainkan di tempat yang telah ia siapkan bertahun-tahun lalu untuk skenario terburuk: sebuah stasiun kereta maglev bawah tanah yang telah lama ditinggalkan, jauh di bawah perut kota Neo-Jakarta yang tak pernah tidur.

Udara di sini terasa pengap, berbau debu, beton dingin, dan ozon dari peralatan darurat yang ia aktifkan. Hanya ada suara tetesan air dari langit-langit yang berkarat dan dengungan rendah dari unit daya portabel yang ia nyalakan. Ini adalah surga sekaligus penjaranya, sebuah ruang isolasi di dalam zamannya sendiri.

Ia jatuh berlutut di atas peron yang retak, tubuhnya gemetar hebat menahan guncangan temporal. Kujang Pusaka Naga terlepas dari genggamannya, menimbulkan suara denting yang nyaring di keheningan stasiun. Untuk beberapa saat, ia hanya bisa terengah-engah, membiarkan rasa sakit fisik dan kelelahan jiwa membanjiri dirinya. Wajah Zahira saat perpisahan mereka terlintas di benaknya, sebuah luka baru yang masih terasa begitu segar dan perih. Diikuti oleh bayangan Ratna, sebuah luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Ia adalah seorang pria yang dihantui oleh gema dari cinta-cinta yang mustahil.

Namun, tidak ada waktu untuk meratapi nasib. Ia adalah seorang buronan. Ia tahu, di atas sana, di markas Lembaga yang megah, alarm telah berbunyi. Seluruh jaringan pengawasan global kini mungkin sedang memindai anomali energi yang menandakan kedatangannya. Ia harus bergerak cepat.

Ia bangkit, memungut kembali kujang itu, dan membawanya ke pusat stasiun yang terlantar, tempat ia telah membangun sebuah pos komando darurat. Peralatannya adalah barang-barang curian dan rakitan: panel-panel holografik yang retak, sebuah unit prosesor kuantum yang ia selamatkan dari tempat pembuangan, dan kabel-kabel fiber optik yang menjalar seperti akar-akar pohon artifisial. Ini adalah sarang seorang pemberontak.

Tugas pertamanya adalah yang paling berbahaya: menyusup kembali ke jaringan data Lembaga. Bukan sebagai agen, melainkan sebagai pencuri. Ia menghubungkan antarmuka sarafnya ke konsol rakitannya, dan mulai mengetikkan serangkaian kode yang rumit. Ini adalah sebuah permainan kucing dan tikus digital. Ia harus masuk, mengambil data garis waktu terbaru, dan keluar sebelum sistem pertahanan siber Lembaga yang maha canggih mendeteksi dan melacak lokasinya.

Setelah beberapa menit, di mana alarm intrusi digital nyaris berbunyi beberapa kali, ia berhasil. Sebuah celah kecil di dalam protokol arsip lama berhasil ia tembus. Data baru menunjukkan hasil dari tindakannya, mengalir seperti sungai cahaya biru ke dalam proyektor holografiknya yang berkedip-kedip.

Ia pertama-tama fokus pada abad ke-11. Hatinya berdebar saat ia melihat hasilnya. Anomali Chola telah hilang. Garis waktu menunjukkan bahwa Sriwijaya tidak hanya berhasil menahan serangan, tetapi juga keluar sebagai pemenang absolut. Di dalam arsip sejarah yang baru tertulis itu, nama Laksamana Nala diukir sebagai pahlawan maritim terbesar, dan keluarga Khalid di bawah kepemimpinan Zahira menjadi kekuatan ekonomi yang tak tertandingi di seluruh Samudra Hindia. Sebagian dari diri Dirgantara merasakan kebanggaan yang hangat. Ia telah menyelamatkan mereka. Mimpi Zahira, setidaknya sebagian, telah terwujud. Sriwijaya menjadi kekuatan maritim yang dominan secara absolut.

Namun, saat ia menggulir maju garis waktu itu, kebanggaan itu dengan cepat berubah menjadi kengerian.

Lihat selengkapnya