Di dalam keheningan stasiun kereta bawah tanah yang terlantar, Dirgantara duduk di hadapan sungai data yang mengalir deras, membanjiri sarang persembunyiannya dengan cahaya biru yang dingin. Selama berjam-jam, ia tidak bergerak, tubuhnya kaku, matanya terpaku pada sejarah ribuan tahun yang kini terbentang di hadapannya, sebuah sejarah yang telah ia tulis ulang dengan niat terbaik, namun menghasilkan sebuah mahakarya yang mengerikan.
Ia menyelam lebih dalam ke dalam garis waktu yang membusuk itu, mengikuti jejak konsekuensi dari kemenangannya di Sriwijaya. Pikirannya, yang dibantu oleh implan, memproses data dengan kecepatan super, namun hatinya terasa lambat, berat, dan sakit.
Ia membuka arsip tentang Kerajaan Sunda. Jantungnya berdebar saat ia mencari nama Ratna Laras. Ia menemukannya. Sejarah yang baru mencatatnya sebagai seorang komandan legendaris yang tidak pernah terlibat dalam perang besar, yang mengabdikan sisa hidupnya untuk melatih para pengawal kerajaan dengan disiplin baja. Ia tidak pernah menikah. Garis keturunannya dilanjutkan oleh adiknya, namun nama “Panglima Naga” menjadi sebuah gelar kehormatan yang terus diwariskan.
Dirgantara melihat catatan di abad ke-16. Tanpa adanya aliansi kuat dengan Majapahit yang dulu ia jalin, dan kini menghadapi tekanan ekonomi dari imperium Sriwijaya yang baru dan agresif, Kerajaan Sunda menjadi lemah dan terisolasi. Saat kapal-kapal Eropa pertama tiba, mereka adalah salah satu yang pertama jatuh, bukan oleh perang, melainkan oleh intrik dagang dan adu domba.
Dirgantara menyaksikan dengan ngeri saat nama keturunan Ratna Laras tercatat sebagai bangsawan-bangsawan pertama yang menjadi vasal, boneka dari sebuah perusahaan dagang asing. Ia telah menyelamatkan Ratna dari kematian di Bubat, hanya untuk menyerahkan warisannya pada perbudakan yang lambat dan memalukan. Rasa bersalah itu terasa seperti belati es di dalam jiwanya.
Ia beralih ke arsip-arsip lain, dan polanya selalu sama. Kemenangannya di Sriwijaya telah menciptakan sebuah monster. Sriwijaya yang dominan secara absolut tidak menyatukan Nusantara; mereka memerasnya. Kerajaan-kerajaan tetangga seperti Jambi dan Malayu, yang seharusnya bisa tumbuh menjadi kekuatan mandiri, kini menjadi negara satelit yang penuh kebencian, terus-menerus melancarkan perang proksi yang menguras sumber daya mereka. Alih-alih bersatu, Nusantara menjadi sebuah papan catur yang dipenuhi oleh bidak-bidak yang saling membenci, sebuah luka bernanah yang tak pernah sembuh selama berabad-abad.
Perpecahan inilah yang menjadi karpet merah bagi kekuatan baru dari Eropa.
Dirgantara membuka arsip tentang Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC. Di garis waktu aslinya, kedatangan mereka adalah sebuah proses yang lambat dan penuh perlawanan. Mereka menghadapi kerajaan-kerajaan besar yang solid. Namun di garis waktu yang baru ini, kedatangan mereka yang terjadi lebih awal terasa seperti sebuah pesta perburuan. Mereka tidak perlu bersusah payah. Mereka dengan mudah menerapkan taktik