Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #2

Selamat Datang di Abad Mesin Uap

Lompatan waktu kali ini terasa berbeda. Bukan lagi sebuah pelarian yang panik atau pendaratan yang kacau di tengah badai. Ini adalah sebuah infiltrasi yang terencana. Di dalam sarang persembunyiannya yang sunyi di tahun 2070, Dirgantara telah menghabiskan waktu berhari-hari untuk mempersiapkan segalanya. Ia tidak lagi melompat sebagai seorang buronan dengan pakaian compang-camping dari zaman Gowa. Ia melompat sebagai seorang bangsawan, sebuah persona yang telah ia bangun dengan cermat, sebuah topeng yang dirancang untuk dunia yang baru.

Prosesnya tetap terasa seperti sebuah kekerasan, seolah jiwanya direnggut melintasi waktu dengan kecepatan yang mustahil. Namun saat ia terwujud, ia tidak jatuh berlutut. Ia muncul dengan tegap di sebuah gang belakang yang sepi dan telah ia petakan, di jantung Batavia tahun 1908. Ia bersandar sejenak di dinding bata yang lembab, membiarkan dunianya yang berputar kembali stabil.

Ia mengenakan pakaian yang telah ia siapkan dengan cermat di safe house-nya: sebuah setelan jas tiga potong berwarna krem gading yang dipotong dengan sempurna, bahannya adalah nano-sutra yang bisa mengatur suhu, namun dari luar tampak seperti linen terbaik dari Eropa. Kemeja putihnya berkerah tinggi, dasi sutra gelapnya terikat rapi, dan sepatu kulitnya yang mengilap dibuat dari polimer cetak yang ringan namun tampak seperti kulit asli. Rambutnya telah ia potong lebih rapi sesuai mode Eropa saat itu. Ia adalah perwujuduhan dari seorang Indo, seorang bangsawan pribumi berpendidikan Eropa yang kaya raya. Sebuah penyamaran sempurna untuk bisa bergerak di antara dua dunia: dunia kaum Eropa yang berkuasa dan dunia kaum pribumi yang mulai bangkit. Kujang Pusaka Naga miliknya tersembunyi dengan aman di dalam sebuah kompartemen rahasia berlapis timah di dalam tas kulit dokter yang ia jinjing, tak terdeteksi.

Dengan napas yang mantap, ia melangkah keluar dari gang, dan dunia baru itu langsung menyerangnya. Ledakan sensorik yang luar biasa. Deru mesin uap dari trem yang melintas, klakson parau dari mobil Ford Model T pertama yang mengeluarkan asap, derap sepatu bot kulit di atas trotoar, dan ribuan percakapan dalam berbagai bahasa.

Jalanan di hadapannya, yang dikenal sebagai Molenvliet, adalah sebuah panggung raksasa yang menampilkan drama dari sebuah tatanan dunia baru. Di satu sisi, berdiri gedung-gedung Eropa yang megah dan angkuh, pilar-pilar putihnya menjulang ke langit. Kereta-kereta kuda dan mobil-mobil pertama melintas, membawa para lelaki Eropa berjas putih dan para perempuan dalam gaun-gaun berenda. Namun, di sisi lain dari kenyataan itu, kaum pribumi, inlander, berjalan dengan kepala sedikit tertunduk. Jurang sosial itu begitu nyata.

Saat ia sedang berjalan dengan tenang, mencoba menyerap semuanya, ia menarik perhatian seorang lelaki Belanda paruh baya yang berperut buncit, Tuan van Heutsz, yang baru saja keluar dari sebuah toko pakaian mewah. Van Heutsz menatap Dirgantara dari atas ke bawah. Ia melihat setelan jas yang sangat mahal, sepatu yang berkilauan, dan tas kulit yang tampak berkelas. Lalu ia melihat wajah pemakainya: wajah seorang pribumi. Di benaknya yang sempit dan penuh prasangka, hanya ada satu kesimpulan yang mungkin.

“Heh, kau!” teriak van Heutsz, suaranya kasar dan penuh tuduhan. Ia melangkah cepat dan menghalangi jalan Dirgantara. “Berhenti!”

Dirgantara berhenti, menatap lelaki itu dengan tenang. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”

“Bantu?” cibir van Heutsz. Matanya yang licik menatap pakaian Dirgantara. “Pakaian yang bagus sekali untuk seorang inlander. Dari mana kau mencurinya? Dari rumah tuanmu?”

Dirgantara menghela napas. Ia sudah menduga rasisme seperti ini akan terjadi, tapi tidak secepat ini. “Saya rasa Anda salah paham,” katanya dingin.

“Salah paham?” ulang van Heutsz, kini semakin yakin dengan tuduhannya. Ia meraih lengan jas Dirgantara dengan kasar. “Aku tidak salah paham! Aku tahu jenis kalian! Kalian para pribumi pemalas, hanya tahu cara mencuri! Ayo ikut aku ke pos polisi!”

Dengan satu gerakan pergelangan tangan yang cepat dan kuat, Dirgantara melepaskan cengkeraman van Heutsz. “Jangan sentuh saya,” desisnya, suaranya dingin seperti es.

Van Heutsz, yang terdorong ke belakang, meraung karena terhina. Bagi seorang lelaki Eropa terhormat seperti dirinya, ditentang secara terbuka oleh seorang pribumi, tak peduli betapa mewahnya pakaian lelaki itu adalah sebuah aib yang tak tertahankan.

“Kurang ajar!” raungnya. Ia mengangkat tongkat jalannya yang terbuat dari kayu eboni padat dengan gagang perak, dan mengayunkannya dengan sekuat tenaga, menargetkan bahu Dirgantara. Itu adalah sebuah ayunan yang brutal, yang dimaksudkan untuk mematahkan tulang.

Namun, bagi Dirgantara, serangan itu terasa lambat. Implannya memproses trajektori ayunan itu, memprediksi titik dampaknya dalam sepersekian detik. Ia tidak mundur. Sebaliknya, ia justru melangkah maju, masuk ke dalam jangkauan ayunan itu. Gerakannya begitu cair dan tak terduga hingga membuat van Heutsz bingung.

Tepat saat tongkat itu melintas di atas kepalanya, tangan Dirgantara melesat ke atas, bukan untuk menangkis, melainkan untuk menangkap pergelangan tangan van Heutsz yang sedang mengayun. Di saat yang sama, ia menggunakan momentum dari ayunan itu untuk memutar tubuh van Heutsz, membuatnya kehilangan keseimbangan. Dengan sebuah tekanan yang terukur pada sendi siku lawannya, ia memaksa van Heutsz untuk melepaskan tongkatnya.

Lihat selengkapnya