Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #3

Jantung Pergerakan di STOVIA

Mansion Heer Adriaan van de Berg di kawasan Menteng adalah sebuah anomali di dalam anomali. Dari luar, ia adalah sebuah istana kecil bergaya Indo-Europeesche, pilar-pilar putihnya yang megah menopang beranda yang luas, dikelilingi oleh taman yang dipenuhi oleh pohon-pohon palem dan bunga-bunga flamboyan. Namun di dalamnya, di balik kemewahan mebel dari kayu jati dan porselen dari Delft, tersembunyi jantung dari sebuah perlawanan lintas waktu.

Dirgantara menghabiskan hari-hari pertamanya di zaman ini dalam sebuah disorientasi yang aneh. Ia tidak lagi diburu, tidak lagi kelaparan. Ia kini hidup dalam kemewahan yang tak terbayangkan. Pelayan-pelayan pribumi yang pendiam melayaninya, menyajikan rijsttafel dengan puluhan lauk pauk di atas piring-piring perak. Ia tidur di atas ranjang berkanopi dengan seprai sutra. Di garasi, sebuah mobil Benz Patent-Motorwagen yang berkilauan telah disiapkan untuknya. Persona Raden Mas Suryo Adiningrat, sang bangsawan terpelajar, telah memberinya akses ke lingkaran tertinggi masyarakat kolonial.

Namun, kemewahan ini terasa seperti sebuah sangkar yang lebih menyesakkan daripada wisma tamu di Gowa. Setiap malam, ia terbangun dengan keringat dingin, jantungnya berdebar kencang, telinganya masih mendengar gema dentuman meriam dan jeritan para prajurit. Ia akan berjalan ke balkon kamarnya yang luas, menatap ke arah kota Batavia dan merasakan kesendirian yang begitu pekat. Ia adalah hantu yang mengenakan setelan jas linen, jiwanya masih tertinggal di antara puing-puing Somba Opu.

Heer van de Berg adalah seorang tuan rumah yang sempurna sekaligus seorang komandan yang efisien. Ia adalah generasi kedua dari organisasi Gema, cucu dari salah satu cendekiawan Makassar yang pertama kali berhasil menerjemahkan panel data yang ditinggalkan oleh Dirgantara di Gowa. Ia menceritakan pada Dirgantara kisah yang luar biasa: bagaimana Gema tumbuh dalam kerahasiaan selama satu setengah abad, merekrut anggota-anggota terbaik dari setiap generasi, para ilmuwan, sejarawan, diplomat, dan bahkan beberapa perwira militer yang tercerahkan. Misi mereka hanya satu: mempersiapkan dunia untuk kedatangan kembali sang Penjaga Waktu dan membantunya dalam perang melawan Lembaga.

“Kami adalah gemamu, Dirgantara,” kata van de Berg pada suatu sore di perpustakaan pribadinya yang dipenuhi buku-buku langka. “Setiap riak yang kau ciptakan, kami yang mengubahnya menjadi gelombang. Kami telah mengawasimu, melindungimu dari kejauhan di setiap zaman yang kau datangi, sejauh yang teknologi kami mampukan.”

Pengetahuan itu seharusnya menenangkan Dirgantara, namun justru membuatnya merasa lebih terbebani. Perjuangannya yang ia kira adalah perjuangan solo, ternyata adalah sebuah takdir yang telah dipersiapkan.

Setelah seminggu beradaptasi, tiba saatnya bagi Dirgantara untuk memulai misinya. Tujuannya: School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, atau STOVIA. Sekolah kedokteran untuk para dokter pribumi. Menurut Daeng Ratu dari masa depan, di sanalah Fase 4 dari rencana Lembaga akan dieksekusi. Di sanalah benih-benih Budi Utomo akan ditanam, dan di sanalah Silas, sang agen Lembaga yang baru, akan mencoba membajaknya.

Pagi itu, dengan diantar oleh kusir pribadinya, Dirgantara tiba di depan gedung STOVIA di kawasan Weltevreden. Bangunannya adalah sebuah mahakarya arsitektur kolonial yang megah, dindingnya yang putih bersih tampak kontras dengan halaman rumputnya yang hijau terawat. Dari luar, tempat itu tampak tenang dan terhormat, sebuah kuil ilmu pengetahuan. Namun Dirgantara tahu, di dalam dinding-dinding inilah, pertempuran berikutnya untuk jiwa Nusantara akan terjadi.

Lihat selengkapnya