Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #4

Bisikan di Ruang Kuliah

Hari-hari pertama Dirgantara di Batavia terasa seperti berjalan di atas dua dunia yang saling bertolak belakang. Siang hari, ia adalah Raden Mas Suryo Adiningrat, seorang bangsawan Jawa terpelajar yang dihormati. Ia menghadiri pesta-pesta teh di Sociëteit Concordia, berdiskusi tentang filsafat Eropa dengan para pejabat Belanda yang terkesan oleh wawasannya, dan menjalin hubungan dengan para elite kolonial. Ia memainkan perannya dengan sempurna, senyumnya sopan, bahasa Belandanya fasih, setiap gerak-geriknya adalah cerminan dari seorang pribumi terasimilasi yang tidak berbahaya.

Namun saat malam tiba, ia menanggalkan topeng itu. Di dalam kesunyian mansion Heer van de Berg, ia kembali menjadi sang agen, sang analis. Ia dan van de Berg akan duduk hingga larut malam di perpustakaan yang remang-remang, di hadapan peta Batavia yang besar. Van de Berg, dengan jaringannya di dalam komunitas Gema, akan melaporkan bisik-bisik dari dunia politik dan intelijen.

“Silas van der Lijn,” kata van de Berg pada suatu malam, menunjuk sebuah foto seorang lelaki Eropa paruh baya yang tersenyum ramah. “Itu nama yang digunakan oleh agen Lembaga di sini. Ia menyamar sebagai seorang pejabat departemen pendidikan yang sangat progresif. Ia banyak menyumbang untuk sekolah-sekolah pribumi. Ia dipuja oleh banyak orang sebagai pahlawan kemanusiaan.”

“Pahlawan yang akan membajak masa depan mereka,” gumam Dirgantara. Ia menatap foto itu. Wajah Silas tampak begitu biasa, begitu baik hati. Jauh berbeda dari Kaelan yang memancarkan arogansi. Musuh kali ini adalah seekor serigala yang telah menyempurnakan penyamaran dombanya.

Tugas Dirgantara kini adalah menyusup ke jantung dari medan perang yang telah ditentukan oleh Daeng Ratu dari masa depan: STOVIA. Dengan statusnya sebagai seorang dermawan yang terpelajar, tidak sulit baginya untuk mendapatkan akses. Ia memberikan sebuah donasi yang cukup besar untuk perpustakaan sekolah itu, sebuah gestur yang langsung membuatnya disambut dengan tangan terbuka oleh direktur sekolah, seorang dokter Belanda bernama Dr. Roll.

Dirgantara mulai menghabiskan waktunya di koridor-koridor STOVIA yang sejuk dan sunyi. Ia tidak langsung mendekati Soetomo. Itu akan terlalu mencurigakan. Sebaliknya, ia menjadi seorang pengamat yang sabar. Ia duduk di perpustakaan selama berjam-jam, berpura-pura membaca jurnal-jurnal kedokteran dari Eropa, namun sesungguhnya telinga dan implannya merekam setiap percakapan, setiap bisikan di sekelilingnya.

Ia menyaksikan bagaimana para mahasiswa itu hidup dalam sebuah paradoks. Di dalam ruang kuliah, mereka diajarkan tentang ilmu pengetahuan modern, tentang logika, tentang pencerahan. Mereka belajar bahwa semua manusia memiliki anatomi yang sama, bahwa penyakit tidak mengenal warna kulit. Namun, saat mereka melangkah keluar dari gerbang sekolah, mereka kembali dihantam oleh realitas Hindia Belanda, di mana mereka dianggap sebagai manusia kelas dua.

Kontradiksi inilah yang menjadi rahim dari pemberontakan.

Dirgantara mulai mendekati lingkaran Soetomo secara perlahan. Ia tidak mendekati Soetomo secara langsung, melainkan mendekati salah satu temannya yang lebih pendiam, seorang mahasiswa bernama Goenawan Mangoenkoesoemo. Dirgantara memulai percakapan dengannya di perpustakaan, membahas tentang sebuah artikel medis baru dari Jerman. Dari sana, ia perlahan-lahan diterima masuk ke dalam lingkaran pertemanan mereka.

Ia menemukan bahwa Soetomo adalah jantung dari kelompok itu. Ia adalah api. Namun di sekelilingnya ada pikiran-pikiran cemerlang lainnya. Ada Goenawan yang tenang dan analitis. Ada Soeradji yang religius dan memiliki hubungan kuat dengan para bangsawan tradisional. Dan ada Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang mahasiswa yang lebih senior, yang matanya menyala dengan api yang lebih radikal, yang sudah berani membisikkan kata “politik” saat yang lain masih berbicara tentang “kemajuan”.

Dirgantara akan duduk bersama mereka di kantin asrama yang sederhana, di tengah aroma nasi dan ikan asin, dan mendengarkan. Ia tidak banyak bicara, hanya sesekali melontarkan pertanyaan yang memancing pemikiran, menyamar sebagai seorang bangsawan yang ingin memahami kegelisahan kaum muda.

Lihat selengkapnya