Minggu-minggu berikutnya di STOVIA adalah sebuah musim semi intelektual yang singkat dan penuh gairah. Ide-ide baru yang ditanam oleh Dirgantara tentang pergerakan di Filipina, tentang hubungan antara kemajuan dan keadilan sosial mulai bertunas di dalam tanah yang subur dari pikiran-pikiran muda para mahasiswa. Diskusi-diskusi di kantin dan asrama menjadi lebih tajam, lebih berani. Kata “Jawa” yang tadinya menjadi pusat dari semesta mereka perlahan-lahan mulai digantikan oleh sebuah kata yang lebih luas, lebih inklusif, dan lebih berbahaya: “Hindia”.
Soetomo, dengan karismanya yang alami, menjadi corong utama dari semangat baru ini. Ia tidak lagi hanya berbicara tentang dana studi untuk kaum priyayi Jawa, melainkan tentang sebuah “perserikatan Hindia” yang akan mengangkat martabat semua suku bangsa yang bernaung di bawah langit kolonial. Tjipto Mangoenkoesoemo, dengan apinya yang radikal, mendorong gagasan itu lebih jauh, mulai membisikkan tentang pentingnya memiliki suara politik sendiri.
Dirgantara menyaksikan semua ini dari kejauhan, dengan perasaan campur aduk antara kebanggaan seorang mentor dan kegelisahan seorang penjaga. Ia melihat sebuah organisme yang indah sedang lahir, sebuah kesadaran kolektif yang mulai terbentuk. Namun ia juga tahu, setiap cahaya yang bersinar lebih terang akan menarik perhatian ngengat-ngengat dari kegelapan. Dan ia tahu, Silas van der Lijn, sang serigala berbulu domba, pasti sedang mengamati dari sarangnya, menunggu saat yang tepat untuk melepaskan racunnya.
Serangan itu datang pada suatu hari Sabtu sore yang cerah, saat para mahasiswa STOVIA baru saja selesai dengan ujian mingguan mereka dan sedang menikmati waktu senggang mereka di lapangan depan sekolah. Suasananya riang. Beberapa dari mereka bermain sepak bola dengan bola rotan, tawa mereka membahana di udara. Yang lain duduk-duduk di bawah pohon kenari, berdiskusi tentang pelajaran atau sekadar bercanda.
Saat itulah, sekelompok kadet militer dari Koninklijke Militaire Academie (KMA) yang sedang berlibur di Batavia, berjalan melewati gerbang STOVIA. Mereka adalah para pemuda Eropa dan Indo-Eropa, tubuh mereka tegap dalam seragam mereka yang angkuh, sepatu bot mereka yang mengilap berderap di atas jalanan kerikil. Mereka berjalan dengan aura superioritas yang tak terucapkan, seolah seluruh dunia adalah milik mereka.
Dirgantara, yang kebetulan sedang berada di sana, berpura-pura sedang membaca koran di beranda depan sambil mengamati para mahasiswa, langsung merasakan ada yang tidak beres. Implannya mendeteksi sebuah anomali. Detak jantung kolektif dari kelompok kadet itu sedikit lebih tinggi dari normal. Postur mereka, yang tampak santai, sesungguhnya tegang dan penuh antisipasi. Dan yang paling aneh, di antara kerumunan penonton di seberang jalan, ia mengenali dua wajah preman bayaran yang pernah ia lihat berkeliaran di dekat pelabuhan, yang kini berdiri diam, mengamati, seolah sedang menunggu sebuah pertunjukan dimulai.
Ini adalah sebuah rekayasa. Sebuah panggung yang telah disiapkan.
Konflik itu dimulai dengan cara yang klasik dan sepele, seperti yang dirancang. Bola rotan yang ditendang oleh salah satu mahasiswa STOVIA “secara tidak sengaja” melayang terlalu jauh dan mengenai punggung salah satu kadet militer.
Kadet itu, seorang pemuda jangkung berambut pirang, berhenti dan berbalik. Wajahnya menunjukkan kemarahan yang dibuat-buat. “Heh, monyet-monyet pribumi!” teriaknya, suaranya lantang dan penuh hinaan. “Apa kalian tidak punya mata?!”
Para mahasiswa STOVIA yang sedang bermain langsung terdiam. Soetomo, yang berada di dekat situ, segera melangkah maju, mencoba mendinginkan suasana. “Maafkan kami, Tuan,” katanya dengan sopan. “Itu tidak disengaja.”
“Tidak disengaja?” cibir si kadet pirang. “Aku tahu jenis kalian. Kalian sengaja melakukannya. Kalian iri melihat seragam kami, melihat superioritas kami!”
Penghinaan itu terlalu berat untuk diterima. Tjipto Mangoenkoesoemo, yang berdarah panas, melangkah maju. “Jaga mulutmu, sinyo!” balasnya. “Superioritasmu itu hanya ada di warna kulitmu yang pucat seperti mayat!”
Itulah percikan api yang dibutuhkan. Si kadet pirang mendorong Tjipto dengan keras. Tjipto membalas dengan mendorong balik. Dalam sekejap, lapangan yang tadinya damai itu berubah menjadi arena perkelahian. Para kadet militer, yang jelas sudah mempersiapkan diri, langsung menyerang dengan brutal. Para mahasiswa STOVIA, yang kalah jumlah dan tidak terlatih dalam berkelahi, mencoba untuk membela diri.
Ini bukanlah perkelahian biasa. Ini adalah sebuah pertunjukan kekerasan yang dirancang untuk satu tujuan: mempermalukan dan menghancurkan citra para mahasiswa terpelajar itu, mengubah mereka menjadi sekawanan berandalan di mata publik.
Dirgantara menyaksikan semuanya dari beranda, hatinya terasa seperti diremas. Seluruh insting agennya berteriak untuk turun tangan. Ia bisa mengakhiri perkelahian ini dalam sepuluh detik. Ia bisa melumpuhkan setiap kadet itu tanpa menimbulkan luka serius. Namun, ia tidak bisa. Jika ia melakukannya, penyamarannya sebagai Raden Mas Suryo Adiningrat, sang bangsawan yang halus, akan hancur seketika. Ia akan menjadi anomali yang lebih besar, yang akan menarik perhatian yang jauh lebih berbahaya.
Ia terjebak. Ia adalah manusia terkuat di lapangan itu, namun ia juga yang paling tak berdaya. Ia hanya bisa menonton, implannya menganalisis setiap pukulan, setiap erangan kesakitan. Ia melihat Soetomo mencoba melerai, namun justru terkena pukulan di wajahnya. Ia melihat Goenawan mencoba melindungi seorang mahasiswa yang lebih muda, dan punggungnya dihantam oleh tendangan sepatu bot.
Kemarahan yang dingin dan terkendali mulai membakar di dalam diri Dirgantara. Ia menatap ke seberang jalan. Para preman bayaran itu masih di sana, kini tersenyum puas. Dan yang lebih mengerikan, ia melihat sebuah mobil Benz Patent-Motorwagen berhenti di kejauhan. Di dalamnya, ia melihat siluet sesosok tubuh yang sedang mengamati melalui teropong. Silas. Sang sutradara sedang menikmati pertunjukannya.