Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #6

Suara Sang Pencerah

Ruang rawat inap di STOVIA, yang biasanya sunyi dan berbau karbol, kini dipenuhi oleh energi yang berbeda. Di atas dipan-dipan besi yang berderit, para pahlawan yang kalah dari pertempuran di lapangan itu sedang dirawat. Udara terasa berat oleh bau obat-obatan, kain perban, dan amarah yang tertahan. Para mahasiswa, yang beberapa jam lalu masih tertawa sambil menendang bola rotan, kini terbaring dengan bibir yang sobek, mata yang lebam, dan tulang rusuk yang memar. Namun, luka fisik itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan luka yang membakar di dalam jiwa mereka.

Dirgantara, dalam perannya sebagai Raden Mas Suryo Adiningrat, berjalan di antara mereka. Ia tidak datang sebagai seorang penasihat yang angkuh, melainkan sebagai seorang sahabat yang cemas. Ia membawa serta beberapa peti berisi perban, yodium, dan obat-obatan terbaik yang bisa dibeli dengan uang Heer van de Berg. Gestur itu, lebih dari kata-kata mana pun, memberinya tempat di antara para pemuda yang terluka itu. Mereka melihatnya bukan lagi hanya sebagai seorang bangsawan eksentrik, melainkan sebagai seorang pelindung.

Ia berhenti di samping dipan Soetomo. Bibir pemuda itu bengkak dan ada perban di atas alisnya, namun matanya yang biasanya penuh semangat kini menyala dengan api yang lebih gelap dan lebih fokus.

“Kau lihat sendiri, Raden Mas,” kata Soetomo pelan, suaranya serak. “Inilah jawaban mereka atas permintaan kita untuk ‘kemajuan’. Mereka menjawab diskusi kita dengan pukulan. Mereka menjawab pena kita dengan sepatu bot.”

Di dipan seberangnya, Tjipto Mangoenkoesoemo, yang lengannya digendong kain, mencoba untuk duduk. Wajahnya adalah topeng amarah. “Ini membuktikan semua yang kukatakan!” desisnya. “Kita tidak bisa berdebat dengan para penguasa! Kita harus melawan!”

“Melawan dengan apa, Tjipto?” sahut Goenawan Mangoenkoesoemo dengan tenang, meskipun wajahnya sendiri lebam. “Dengan tangan kosong melawan senapan? Mereka menghasut kita karena mereka tahu kita lemah. Jika kita membalas dengan kekerasan, kita akan memberi mereka alasan yang mereka butuhkan untuk menghancurkan kita semua, untuk menutup sekolah ini selamanya.”

Perdebatan itu kembali menyala, bahkan di tengah ruang rawat yang penuh rintihan. Namun kali ini, perdebatan itu tidak lagi tentang budaya Jawa melawan kemajuan Hindia. Perdebatan itu adalah tentang jalan perlawanan. Soetomo berargumen untuk persatuan, untuk membentuk sebuah organisasi yang solid dan terstruktur. Tjipto berargumen untuk tindakan yang lebih radikal.

Dirgantara mendengarkan dalam diam, membiarkan mereka mengeluarkan semua amarah dan frustrasi mereka. Ia melihat sebuah pergerakan sedang menempa dirinya sendiri dalam api penderitaan. Namun ia juga melihat sebuah bahaya. Tanpa arah yang jelas, energi yang luar biasa ini bisa dengan mudah menghancurkan dirinya sendiri.

“Kalian semua benar,” kata Dirgantara akhirnya, suaranya yang tenang memotong perdebatan mereka. Para pemuda itu menoleh padanya. “Tjipto benar, kita harus melawan. Goenawan benar, kita tidak bisa melawan dengan kekerasan. Dan Soetomo benar, kita butuh persatuan.”

Ia berjalan ke tengah ruangan, tatapannya menyapu setiap wajah yang terluka di sana. “Tapi kalian semua melupakan satu hal. Dalam setiap perang, sebelum pasukan digerakkan, ada satu senjata yang harus ditembakkan lebih dulu. Senjata yang bisa menjangkau ribuan orang, yang bisa masuk ke dalam rumah-rumah, ke dalam pikiran, dan membangkitkan jiwa mereka.”

“Senjata apa itu, Raden Mas?” tanya Soetomo.

“Kebenaran,” jawab Dirgantara. “Kalian dipukuli di halaman sekolah kalian sendiri. Itu adalah sebuah ketidakadilan. Tapi jika cerita ini hanya tinggal di antara dinding-dinding ini, maka penderitaan kalian akan sia-sia. Cerita ini harus disebarkan. Seluruh Hindia harus tahu apa yang terjadi di sini. Mereka harus tahu bahwa para calon dokter mereka, harapan masa depan mereka, telah diinjak-injak oleh keangkuhan kolonial. Kalian tidak butuh pembalasan. Kalian butuh suara.”

Para pemuda itu terdiam, mencerna kata-kata Dirgantara. Ide itu begitu sederhana namun begitu kuat.

“Tapi suara siapa?” tanya Tjipto skeptis. “Surat kabar mana yang berani mencetak cerita seperti ini? De Locomotief? Bataviaasch Nieuwsblad? Mereka hanya akan menulis versi pemerintah, bahwa sekelompok mahasiswa pribumi membuat onar.”

“Ada satu suara,” kata Dirgantara pelan, menanamkan benihnya. “Meskipun suara itu sering kali serak karena berteriak sendirian dalam kegelapan. Sebuah suara yang tidak takut pada pemerintah, tidak takut pada para jenderal, dan tentu saja tidak takut pada sekawanan kadet manja.” Ia berhenti sejenak. “Aku berbicara tentang Medan Prijaji.”

Nama itu menimbulkan reaksi yang campur aduk. Beberapa mahasiswa mengangguk setuju, namun yang lain tampak ragu. Medan Prijaji dan pemiliknya, Tirto Adhi Soerjo, adalah sebuah legenda sekaligus sebuah anomali. Ia adalah seorang pahlawan bagi sebagian orang, dan seorang penghasut berbahaya bagi yang lain.

Lihat selengkapnya