Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #7

Ujian di Atas Kertas Tinta

Aliansi yang lahir di tengah tumpukan koran dan bau tinta itu terasa rapuh seperti kertas tua. Di hari-hari berikutnya, Dirgantara mulai menghabiskan lebih banyak waktunya di kantor redaksi Medan Prijaji yang sempit dan pengap. Ia menanggalkan persona Raden Mas Suryo Adiningrat yang anggun setiap kali melangkah melewati ambang pintu ruko tua itu. Di sini, di antara derit mesin cetak dan hiruk pikuk para juru tulis, ia hanyalah Suryo, seorang penyumbang ide aneh yang disambut dengan campuran antara rasa ingin tahu dan kecurigaan yang kental.

Ia belajar dengan cepat tentang dunia mereka. Ia menyaksikan bagaimana Tirto Adhi Soerjo, dengan energi yang seolah tak pernah habis, berjuang setiap hari. Ia melihat Tirto berdebat sengit dengan para pemasok kertas yang menaikkan harga, menenangkan para pelanggan yang takut berlangganan koran yang terlalu berani, dan menulis hingga larut malam di bawah cahaya lampu minyak, matanya merah karena lelah namun semangatnya menolak untuk padam. Tirto adalah seorang pejuang, dan medan perangnya adalah kertas berukuran folio.

Sariyah adalah otak di balik sang pejuang. Perempuan muda itu bergerak dalam keheningan, namun efisiensinya luar biasa. Ia yang mengatur jadwal cetak, ia yang menyunting setiap artikel dengan ketajaman luar biasa, dan ia juga yang mengelola jaringan informan rahasia mereka, para pelayan di rumah-rumah pejabat, para kuli di pelabuhan, para pedagang kecil di pasar yang menjadi mata dan telinga Medan Prijaji. Ia adalah arsitek senyap di balik setiap berita yang mengguncang Batavia.

Dirgantara mengagumi mereka berdua. Ia melihat gema dari sekutu-sekutunya di masa lalu dalam diri mereka. Ia melihat keberanian Laksamana Nala dalam diri Tirto, dan kecerdasan strategis Daeng Ratu dalam diri Sariyah. Namun, ia juga tahu bahwa kekagumannya tidak berbalas dengan kepercayaan.

Setiap kali ia memberikan sebuah saran strategis tentang bagaimana cara membingkai sebuah berita agar lolos dari sensor, atau tentang kelompok pembaca mana yang harus mereka sasar ia bisa melihat keraguan di mata mereka. Terutama di mata Tirto. Sang jurnalis veteran itu telah melihat terlalu banyak pengkhianatan, terlalu banyak bangsawan pribumi yang pada akhirnya lebih setia pada kantung emas Kompeni daripada pada nasib bangsanya sendiri.

Ujian itu datang pada suatu sore yang panas, saat hujan tropis baru saja reda, meninggalkan udara yang berat dan lembab. Mereka bertiga duduk di ruang belakang, di samping mesin cetak yang sedang beristirahat. Di atas meja, terbentang beberapa lembar catatan yang kusut.

“Jalan buntu,” kata Tirto akhirnya, menghela napas berat dan menyalakan sebatang kretek. Asap wangi memenuhi ruangan. “Aku sudah mengerjakannya selama sebulan. Aku tahu ada yang tidak beres, tapi aku tidak bisa membuktikannya.”

Ini adalah sebuah kasus yang sedang ia selidiki. Sebuah proyek pembangunan saluran air di kawasan Meester Cornelis. Di atas kertas, semuanya tampak sempurna. Anggarannya disetujui, kontraktornya adalah sebuah perusahaan Belanda yang terkemuka, dan laporannya menunjukkan kemajuan yang stabil. Namun di lapangan, proyek itu berjalan sangat lambat, dan kualitas bahan yang digunakan sangat buruk. Tirto yakin ada korupsi di sana. Ia mencurigai seorang pejabat rendah di Departemen Pekerjaan Umum, seorang controleur bernama Pieter Both, yang gaya hidupnya tiba-tiba menjadi jauh lebih mewah daripada yang seharusnya.

“Aku sudah memeriksa semua catatannya,” lanjut Tirto, menunjuk tumpukan kertas. “Catatan pembelian semen, upah para kuli, semuanya tampak cocok. Both ini licin. Ia menutupi jejaknya dengan sangat baik. Tanpa bukti nyata, tulisanku hanya akan menjadi fitnah, dan aku bisa berakhir di penjara.”

Dirgantara menatap tumpukan kertas itu. Ini adalah sebuah teka-teki, sebuah permainan yang ia kenali. Ia melihat mata Tirto menatapnya, sebuah tantangan diam di dalamnya. ‘Kau berbicara besar tentang strategi, Raden Mas,’ seolah mata itu berkata, ‘sekarang tunjukkan padaku apa yang bisa kau lakukan.’

Ini adalah ujiannya.

“Boleh saya lihat?” tanya Dirgantara pelan.

Sariyah, dengan sedikit ragu, mendorong tumpukan kertas itu ke arahnya.

Selama hampir satu jam, Dirgantara tenggelam dalam catatan-catatan itu. Ia tidak hanya membacanya. Pikirannya, yang terhubung dengan implan, memindai setiap angka, setiap tanggal, setiap nama. Ia mengubah tumpukan data analog yang kacau itu menjadi sebuah matriks digital yang terstruktur di dalam benaknya. Ia mencari anomali, mencari deviasi sekecil apa pun dari pola yang seharusnya.

Tirto dan Sariyah mengamatinya dalam diam. Mereka melihat konsentrasi yang luar biasa di wajah lelaki itu, matanya yang bergerak cepat dari satu baris ke baris lain, seolah sedang membaca sebuah bahasa yang hanya ia yang mengerti.

Akhirnya, Dirgantara berhenti. Ia tidak terlihat seperti seseorang yang telah menemukan sebuah pencerahan besar. Wajahnya justru tampak bingung.

“Aneh,” gumamnya. “Semuanya memang tampak sempurna. Terlalu sempurna.” Ia menatap Tirto. “Di mana catatan pengiriman material dari pelabuhan Tanjung Priok?”

“Tidak ada,” jawab Tirto. “Kontraknya menyatakan bahwa semua material disediakan oleh perusahaan konstruksi itu sendiri. Mereka punya gudang di dekat lokasi proyek.”

Lihat selengkapnya