Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #8

Aliansi Tinta dan Rahasia

Malam-malam di kantor redaksi Medan Prijaji adalah sebuah dunia yang terpisah dari Batavia yang gemerlap. Di luar, di jalanan Molenvliet, para meneer dan mevrouw menikmati opera dan berdansa waltz di bawah cahaya lampu gas yang terang. Namun di sini, di ruko sempit yang berbau tinta dan perjuangan, tiga jiwa yang tak terduga memulai perang rahasia mereka.

Aliansi antara Dirgantara, Tirto, dan Sariyah bukanlah aliansi yang lahir dari persahabatan yang mudah. Itu adalah sebuah persekutuan yang ditempa dalam api kebutuhan mendesak, diikat oleh kecurigaan timbal balik yang perlahan-lahan terkikis oleh rasa hormat. Ruang belakang yang sempit, dengan mesin cetak tua yang tampak seperti monster besi yang sedang tidur, menjadi ruang dewan perang mereka. Meja kayu yang penuh noda tinta menjadi peta pertempuran mereka. Dan senjata mereka adalah pena kalam, huruf-huruf timah, dan kebenaran yang dibungkus dalam kiasan.

Dirgantara, untuk pertama kalinya sejak Gowa, kembali merasakan dirinya sebagai seorang ahli strategi. Namun, medan perangnya telah berubah total. Ia tidak lagi menganalisis formasi armada atau titik lemah benteng. Ia kini menganalisis jiwa sebuah pergerakan yang baru lahir.

“Silas tidak akan mencoba menghancurkan Budi Utomo secara langsung,” jelasnya pada suatu malam, suaranya rendah di tengah keheningan yang hanya dipecah oleh suara cicak di dinding. “Itu akan terlalu kasar dan akan menciptakan martir. Sebaliknya, ia akan mencoba memilikinya. Ia akan membelokkannya dari dalam.”

Ia mengambil sebatang arang dan mulai menggambar di atas selembar kertas koran bekas. “Bayangkan Budi Utomo ini seperti sebuah sungai yang baru saja terbentuk,” katanya. “Silas, melalui Tirtodarmo dan para bangsawan konservatif lainnya, sedang membangun sebuah bendungan kecil di hilir. Bendungan ‘kebudayaan’. Tujuannya adalah untuk menampung seluruh energi sungai ini di sana, membuatnya menjadi sebuah danau yang tenang, indah, dan tidak berbahaya. Ia akan membiarkan mereka berbicara tentang gamelan, tentang sastra Jawa kuno, tentang apa pun, selama mereka tidak pernah berbicara tentang ketidakadilan, tentang politik, tentang kemerdekaan.”

Tirto Adhi Soerjo, yang duduk di seberangnya, mengisap kreteknya dalam-dalam, matanya yang lelah menatap diagram sederhana itu. “Dan kita?” tanyanya. “Apa peran kita dalam dongeng sungaimu ini, Raden Mas?”

“Kita tidak akan menghancurkan bendungan itu,” jawab Dirgantara. “Itu akan memicu konfrontasi langsung. Sebaliknya, kita akan menggali saluran-saluran irigasi kecil sebelum sungai itu sampai ke bendungan. Saluran-saluran yang akan mengalirkan sebagian airnya ke ladang-ladang yang kering. Ladang-ladang kesadaran.”

Itulah strategi mereka. Sebuah perang kata-kata. Sebuah perang untuk merebut narasi. Mereka tidak akan menyerang Budi Utomo. Mereka akan mendukungnya, namun pada saat yang sama, mereka akan menanamkan ide-ide yang lebih luas, lebih radikal, lebih Indonesia, di benak para pembaca Medan Prijaji dan para mahasiswa STOVIA.

Pekerjaan itu brutal dan melelahkan. Siang hari, Dirgantara akan kembali mengenakan topeng Raden Mas Suryo Adiningrat, berbaur di kalangan elite, mengumpulkan informasi tentang intrik politik kolonial. Malam hari, ia akan membawa kepingan-kepingan informasi itu ke kantor redaksi yang pengap.

Di sanalah sihir yang sesungguhnya terjadi. Dirgantara akan memberikan kerangka idenya, wawasan globalnya tentang pergerakan-pergerakan lain di dunia. Lalu, Sariyah, dengan kecerdasannya yang tajam dan pemahamannya yang mendalam tentang jiwa bangsanya, akan mengubah ide-ide abstrak itu menjadi tulisan yang membakar.

Lihat selengkapnya