Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #9

Wajah Musuh yang Baru

Gema dari artikel di Medan Prijaji menyebar di seluruh Batavia seperti gelombang kejut yang sunyi. Di beranda-beranda Sociëteit Concordia, para pejabat Belanda dan pemilik perkebunan membacanya dengan dahi berkerut, mendengus meremehkan pada “tulisan-tulisan liar” dari para penghasut pribumi, namun di dalam hati mereka, secercah kegelisahan mulai tumbuh.

Di asrama-asrama STOVIA, lembaran koran itu dibaca berulang-ulang hingga lecek, setiap kalimatnya menjadi bahan perdebatan yang berapi-api di antara para mahasiswa. Dan di warung-warung kopi di Pecinan atau di pasar-pasar di Senen, mereka yang bisa membaca akan membacakannya dengan suara lantang kepada mereka yang tidak bisa, menanamkan benih-benih kesadaran baru di dalam tanah yang paling subur.

Aliansi tinta dan rahasia itu telah berhasil menembakkan peluru pertamanya. Dan peluru itu, meskipun tak bersuara, telah mengenai sasarannya.

Di dalam kantor redaksi yang pengap, ada sebuah energi baru. Kemenangan kecil itu, keberhasilan mereka dalam mengguncang narasi yang ada, telah menyuntikkan semangat baru ke dalam nadi perjuangan mereka yang nyaris kering. Tirto Adhi Soerjo tampak lebih bersemangat, matanya yang lelah kini kembali menyala dengan api seorang pejuang. Sariyah, meskipun tetap pendiam dan fokus, kini lebih sering tersenyum saat mereka berdiskusi, senyum kecil yang menunjukkan kebanggaan atas pekerjaan yang telah mereka lakukan bersama.

Dirgantara merasakan secercah optimisme. Di sini, di tengah bau tinta dan kertas murah ini, ia merasa telah menemukan kembali tujuan yang lebih murni. Ia tidak lagi hanya memadamkan api; ia sedang membantu menyalakannya. Hubungannya dengan Sariyah berkembang menjadi sebuah kemitraan intelektual yang mendalam. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam, membungkuk di atas draf artikel, berdebat tentang pilihan satu kata, tentang kekuatan sebuah kiasan.

“Jangan gunakan kata ‘pribumi’,” kata Dirgantara pada suatu malam, menunjuk sebuah kalimat dalam tulisan Sariyah. “Itu adalah kata yang mereka berikan pada kita, sebuah label untuk mengotak-ngotakkan. Gunakan kata ‘Bumiputera’, putra bumi. Kata itu memiliki kekuatan, memiliki rasa kepemilikan.”

Sariyah menatapnya, matanya di balik kacamata berbingkai kawat itu berkilat. “Kau berpikir seperti seorang penyair sekaligus seorang jenderal, Raden Mas,” katanya pelan. Kekaguman dalam suaranya begitu tulus hingga membuat Dirgantara merasa sedikit canggung.

Ia sering kali lupa bahwa bagi Sariyah, ia adalah seorang bangsawan Jawa yang misterius. Ia tidak tahu bahwa wawasannya tentang perang narasi berasal dari arsip-arsip pertempuran psikologis dari abad ke-21. Kedekatan mereka adalah sebuah tarian yang indah di atas fondasi kebohongan yang rapuh.

Namun, di bagian lain kota, di sebuah kantor yang sejuk dan megah di Departemen Pendidikan, musuh mereka tidak tinggal diam.

Silas van der Lijn membaca edisi terbaru Medan Prijaji itu bukan dengan kemarahan, melainkan dengan ketenangan seorang ahli bedah yang sedang mengamati sebuah sel kanker baru yang tak terduga. Ia membaca setiap kalimat, setiap kiasan, dan ia langsung mengenali polanya. Ini bukanlah tulisan Tirto Adhi Soerjo yang biasanya emosional dan berapi-api. Ini juga bukan hanya kecerdasan Sariyah yang tajam. Ada sesuatu yang lain di sini. Sebuah kecanggihan strategis. Sebuah pemahaman tentang perang propaganda yang jauh melampaui apa pun yang pernah ia lihat di Hindia Belanda.

Ia tidak melihatnya sebagai sebuah serangan dari seorang jurnalis. Ia melihatnya sebagai sebuah gerakan balasan dari seorang pemain catur yang setara.

“Cari tahu segalanya tentang Raden Mas Suryo Adiningrat,” perintahnya pada asistennya, seorang Indo-Eropa yang efisien dan tak banyak bertanya. “Aku ingin tahu di mana ia belajar, siapa guru-gurunya, siapa teman-temannya di Eropa. Aku ingin tahu setiap detail dari kehidupannya.”

Selama beberapa hari berikutnya, sementara Dirgantara, Tirto, dan Sariyah sedang sibuk merancang artikel mereka selanjutnya, Silas, dengan sumber daya tak terbatas dari pemerintah kolonial dan, tanpa mereka ketahui, dari Lembaga, mulai menenun jaringnya.

Lihat selengkapnya