Keheningan yang menyelimuti kantor redaksi Medan Prijaji malam itu adalah keheningan kematian. Mesin cetak tua yang biasanya menjadi detak jantung ruangan itu kini berdiri diam dan dingin, sebuah monumen besi bagi suara mereka yang telah dibungkam. Tumpukan-tumpukan koran yang belum terdistribusi terasa seperti batu-batu nisan. Tirto Adhi Soerjo duduk di kursinya yang reyot, menatap kosong ke dinding, kepulan asap kreteknya yang tebal menjadi satu-satunya hal yang bergerak di ruangan yang terasa seperti kuburan itu. Ia tampak seperti seorang kapten yang kapalnya telah karam, terdampar di sebuah pulau keputusasaan.
Sariyah berdiri di dekat jendela, memeluk dirinya sendiri seolah mencoba menahan jiwanya agar tidak hancur berkeping-keping. Air mata tidak lagi mengalir di pipinya; yang tersisa hanyalah kekosongan yang dingin. Setiap buku, setiap tulisan, setiap mimpinya tentang mencerahkan bangsanya melalui kata-kata, kini terasa seperti sebuah lelucon yang kejam. Mereka telah menantang raksasa, dan raksasa itu, dengan satu jentikan jarinya yang tak terlihat, telah meremukkan mereka hingga menjadi debu.
Dirgantara menyaksikan kedua sekutunya yang hancur itu, dan ia merasakan gelombang rasa bersalah yang begitu kuat hingga nyaris membuatnya sesak napas. Ini adalah perangnya. Ia yang telah membawa badai ini ke dalam kehidupan mereka yang sudah sulit. Ia telah menjanjikan mereka sebuah senjata, namun yang ia berikan ternyata hanyalah sebuah target besar di punggung mereka.
Ia teringat pada semua kegagalannya di masa lalu, pada Gowa yang jatuh, pada Sriwijaya yang menjadi tiran, pada Majapahit yang takdirnya ia ubah. Apakah ia ditakdirkan untuk hanya menjadi pembawa kehancuran, seorang anomali yang meninggalkan jejak penderitaan di setiap zaman yang ia singgahi?
“Ini belum berakhir,” kata Dirgantara pelan, suaranya serak, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada untuk menghibur mereka.
Tirto tertawa, sebuah tawa yang serak dan penuh kepahitan. “Belum berakhir? Lihatlah sekelilingmu, Raden Mas. Kita sudah mati. Kita hanya belum dikuburkan.”
“Setiap akhir adalah sebuah permulaan baru,” balas Dirgantara, mengutip sebuah filsafat kuno dari dunianya yang jauh. “Aku … perlu berpikir. Aku perlu mencari jalan lain.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan keluar dari kantor yang penuh dengan aroma kekalahan itu. Ia membutuhkan sarangnya, tempat persembunyiannya, di mana ia bisa melihat papan catur ini dari kejauhan.
Kembali ke mansion Heer van de Berg yang sunyi dan megah, ia langsung menuju ke ruang kerjanya yang tersembunyi. Ia mengunci pintu, mengaktifkan protokol keamanan, dan menyalakan konsol holografiknya. Ia harus tahu apa langkah Silas selanjutnya. Memahami pikiran lawannya adalah satu-satunya cara untuk menemukan kelemahannya.
Ia tidak berani meretas jaringan utama Lembaga lagi; itu terlalu berisiko. Sebaliknya, ia melakukan sesuatu yang lebih halus. Ia menyusup ke dalam jaringan data pemerintah kolonial Hindia Belanda, sebuah sistem yang keamanannya terasa seperti mainan anak-anak dibandingkan dengan teknologi dari masanya. Ia tidak mencari nama Silas atau Budi Utomo. Ia mencari anomali.
Ia membiarkan implannya bekerja, menyaring jutaan data dalam hitungan detik: catatan keuangan, memo-memo internal, laporan-laporan intelijen polisi rahasia. Ia mencari pola, mencari riak-riak kecil yang menandakan adanya sebuah intervensi.
Dan ia menemukannya. Sebuah anomali yang begitu halus, begitu cerdas, hingga ia nyaris melewatkannya.
Itu bukanlah data tentang penindasan, melainkan tentang kemurahan hati. Ia menemukan aliran dana yang besar dan tidak wajar dari beberapa yayasan filantropi di Amsterdam, yang jejaknya setelah ia telusuri lebih dalam ternyata mengarah pada salah satu perusahaan cangkang milik Lembaga. Dana itu tidak disalurkan untuk membiayai tentara atau polisi. Dana itu disalurkan ke dalam rekening para bangsawan Jawa yang paling konservatif, para priyayi tua yang selama ini menentang ide-ide radikal Tirto Adhi Soerjo.