Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #11

Malam Sebelum Kongres

Dua minggu berlalu dalam sebuah pusaran aktivitas yang tegang dan rahasia. Kantor redaksi Medan Prijaji yang tadinya merupakan monumen kekalahan, kini telah berubah menjadi jantung dari sebuah pemberontakan senyap. Siang hari, tempat itu sunyi dan tampak ditinggalkan, pintunya terkunci, jendelanya tertutup rapat. Namun saat malam tiba dan jalanan Pecinan mulai lengang, ruko tua itu kembali hidup, diterangi oleh beberapa lampu minyak yang cahayanya dijaga agar tidak tumpah ke jalan.

Di dalamnya, tiga jiwa yang berbeda bekerja dalam harmoni yang lahir dari keputusasaan. Tirto Adhi Soerjo, dengan jaringan kontaknya yang luas di kalangan bangsawan progresif dan pejabat pribumi yang tidak puas, telah berubah menjadi seorang pelobi bayangan. Setiap malam ia akan pergi, menyelinap ke dalam pertemuan-pertemuan rahasia di rumah-rumah megah di Weltevreden atau di losmen-losmen sederhana di Kwitang, membisikkan argumen, menanamkan keraguan, mencoba membangun sebuah koalisi rapuh untuk melawan pengaruh emas Silas yang tak terbatas.

Sariyah adalah sang penempa senjata. Di atas mejanya yang reyot, ia menulis. Ia tidak lagi menulis artikel untuk koran, melainkan menulis amunisi untuk sebuah perang ideologi. Ia merancang draf-draf pidato untuk kubu Soetomo, setiap kalimatnya diasah dengan ketajaman seorang ahli pedang. Ia merangkai argumen-argumen yang menggugah, memadukan data statistik tentang kemiskinan yang ia dapatkan dari Dirgantara dengan kiasan-kiasan dari sastra Jawa kuno yang ia kuasai. Ia mengubah keluhan menjadi tuntutan, mengubah kesedihan menjadi kekuatan.

Dan Dirgantara … ia adalah sang ahli strategi agung, sang sutradara tak terlihat. Ia duduk di antara mereka, di tengah peta mentalnya yang membentang melintasi abad. Ia menganalisis setiap informasi yang dibawa Tirto, memprediksi setiap gerakan balasan dari Silas, dan membimbing tangan Sariyah untuk menuliskan kata-kata yang paling tepat, yang paling berdampak. Ia merasa seperti kembali berada di Gowa bersama Daeng Ratu, merancang sebuah pertempuran, namun kali ini, medannya adalah jiwa manusia.

Malam sebelum mereka berangkat ke Yogyakarta, suasana di kantor itu terasa begitu tegang hingga seolah bisa dipotong dengan pisau. Semua yang bisa mereka lakukan telah mereka lakukan. Naskah-naskah pidato terakhir telah disalin dengan tangan, siap untuk diselundupkan. Pesan-pesan terakhir untuk para sekutu rahasia telah dikirimkan.

“Ini adalah pertaruhan terbesar dalam hidupku,” kata Tirto pelan, menatap tumpukan naskah di atas meja. “Selama ini aku berteriak dari luar tembok. Besok, untuk pertama kalinya, kita akan mencoba meruntuhkan tembok itu dari dalam.”

“Kita tidak akan meruntuhkannya,” sahut Sariyah, matanya yang lelah namun penuh semangat menatap Tirto. “Kita akan membukakan pintunya, agar cahaya bisa masuk.”

Dirgantara menatap kedua sekutunya itu. Ia melihat kelelahan yang luar biasa di wajah mereka, namun juga sebuah tekad yang tak tergoyahkan. Ia merasakan gelombang kehangatan dan rasa hormat yang mendalam. Di setiap zaman yang ia datangi, di tengah semua kekacauan dan pengkhianatan, ia selalu menemukan mereka: jiwa-jiwa pemberani yang menolak untuk tunduk pada kegelapan. Ratna, Nala, Daeng Ratu, dan kini, Tirto dan Sariyah. Mereka adalah konstanta di dalam variabel takdirnya yang kacau.

Perjalanan dengan kereta api dari Batavia ke Yogyakarta adalah sebuah perjalanan melintasi jantung tanah Jawa yang sedang tertidur. Kereta uap itu mendesis dan berderit, rodanya berderak di atas rel baja, membela hamparan sawah yang tak berujung di bawah langit malam yang dipenuhi bintang.

Dirgantara duduk di dekat jendela, menatap ke luar. Ia melihat siluet gunung-gunung berapi yang agung, Salak, Gede, Ciremai berdiri diam seperti para dewa kuno yang sedang mengawasi. Ia melihat cahaya-cahaya kecil dari pelita di desa-desa yang tersebar di kejauhan. Pemandangan ini begitu damai, begitu abadi. Sulit dipercaya bahwa di atas tanah yang tenang inilah, sebuah pertempuran sengit untuk masa depan sedang terjadi.

Ia tanpa sadar menyentuh tas kulit di sampingnya, merasakan tonjolan keras dari Kujang Pusaka Naga di dalamnya. Gema dari Trowulan dan Somba Opu terasa begitu jauh, namun juga begitu dekat. Ia bertanya-tanya, apa yang akan dipikirkan oleh Ratna Laras jika ia melihatnya sekarang? Seorang prajurit yang kini bertarung hanya dengan bisikan. Ia membayangkan apa yang akan dikatakan oleh Zahira. Seorang saudagar yang kini mempertaruhkan segalanya bukan demi keuntungan, melainkan demi sebuah ide.

“Pikiranmu sepertinya sedang mengembara jauh, Raden Mas.”

Lihat selengkapnya