Aula sekolah guru Kweekschool di Yogyakarta, yang dipilih sebagai tempat penyelenggaraan kongres pertama Budi Utomo, adalah sebuah ruangan yang sederhana dan jujur. Dindingnya yang dikapur putih telah sedikit menguning karena waktu, dan pilar-pilar kayunya yang kokoh telah dipoles hingga mengkilap oleh tangan-tangan generasi calon pendidik. Tidak ada kemegahan Istana Tamalate atau Balai Manguntur di sini. Namun, pada pagi yang cerah di bulan Oktober 1908 itu, ruangan sederhana ini terasa lebih agung, lebih sakral, dan lebih penting daripada istana mana pun. Karena di sinilah, di antara bangku-bangku kayu yang keras dan di bawah atap joglo yang tinggi, takdir dari sebuah gagasan bernama “Indonesia” akan mulai ditempa.
Dirgantara, Tirto, dan Sariyah tiba lebih awal. Mereka memilih tempat duduk di barisan paling belakang, di sudut yang remang-remang, berusaha menjadi tak terlihat. Mereka adalah para sutradara bayangan, dan kini saatnya bagi mereka untuk menyaksikan drama yang telah mereka bantu rancang, tanpa bisa lagi mengubah dialog atau mengarahkan para aktornya.
Dirgantara merasakan getaran aneh di udara. Bukan getaran dari mesin uap atau dentuman meriam. Ini adalah getaran dari ratusan harapan, ratusan kegelisahan, dan ratusan mimpi yang berkumpul di satu tempat. Ia memindai ruangan itu, implannya secara otomatis mengkategorikan para delegasi yang mulai berdatangan. Pemandangan itu adalah sebuah diorama hidup dari perpecahan dan potensi bangsanya.
Di satu sisi, masuklah para bangsawan priyayi dari Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran. Mereka bergerak dengan keanggunan yang diwariskan turun-temurun, beskap sutra mereka yang berwarna gelap tampak kontras dengan kilau bros permata dan rantai emas jam saku mereka. Mereka berbicara dalam bahasa Jawa Kromo Inggil yang halus, senyum mereka sopan, namun tatapan mata mereka tajam dan penuh perhitungan. Mereka adalah perwujudan dari masa lalu yang agung, pilar-pilar feodalisme yang merasa nyaman dalam sangkar emas kolonialisme. Di antara mereka, Dirgantara melihat Tirtodarmo, bergerak dengan percaya diri, menyapa para pangeran dan bupati seolah ia adalah tuan rumahnya. Ia adalah bidak catur utama Silas, dan ia memainkan perannya dengan sempurna.
Lalu, masuklah gelombang yang lain. Para mahasiswa dari STOVIA, dari sekolah-sekolah pertanian di Bogor, dari sekolah-sekolah hukum di Batavia. Mereka datang dalam kelompok-kelompok kecil, pakaian mereka sederhana, kemeja putih dan pantalon gelap. Namun, langkah mereka mantap dan mata mereka menyala dengan api idealisme. Mereka membawa tas-tas berisi buku dan catatan, bukan pengiring yang membawa payung kebesaran. Mereka adalah masa depan yang tak sabar menunggu.
Dirgantara melihat Soetomo, Goenawan, dan Tjipto di antara mereka. Wajah Soetomo tampak tegang, tangannya sesekali meremas gulungan naskah pidato di dalam sakunya. Naskah yang ditulis oleh Sariyah.
Dua arus sejarah itu bertemu di dalam satu ruangan, saling menatap dengan campuran antara rasa hormat yang dipaksakan dan kecurigaan yang tak terucapkan.
Sariyah duduk membeku di samping Dirgantara, tangannya yang biasanya mantap saat memegang pena kini terasa dingin dan sedikit gemetar. Ia menatap ke arah lautan lelaki yang mengisi ruangan itu. Ia adalah satu-satunya perempuan di barisan pengamat, sebuah anomali di dalam dunianya sendiri. Namun, ia tahu bahwa suaranya, pikirannya, kini berada di dalam saku seorang pemuda di barisan depan, menunggu untuk dibacakan. Perasaan itu adalah campuran aneh antara ketidakberdayaan dan kekuatan yang luar biasa.
Tirto Adhi Soerjo, sebaliknya, tampak berada di elemennya. Ia tidak duduk diam. Ia bergerak di antara kerumunan, menyapa seorang residen yang ia kenal, menepuk pundak seorang jurnalis muda dari surat kabar lain, dan berbisik singkat pada seorang bangsawan progresif dari Semarang yang telah ia lobi beberapa hari lalu. Ia adalah seekor ikan hiu yang sedang berenang di lautan politik, merasakan setiap arus, setiap perubahan suhu.
“Silas ada di sini,” bisik Tirto saat ia kembali duduk di antara Dirgantara dan Sariyah. “Di balkon atas, bersama beberapa pejabat tinggi Belanda. Hanya mengamati.”
Dirgantara mengangkat kepalanya sedikit. Di balkon yang disediakan untuk tamu-tamu Eropa, ia melihatnya. Silas van der Lijn. Ia tidak mengenakan seragam pejabat, hanya setelan jas putih yang santai. Ia tersenyum, mengangguk pada beberapa kenalannya, tampak persis seperti seorang dermawan yang bangga menyaksikan kelahiran sebuah organisasi yang telah ia bantu danai. Namun di matanya, Dirgantara melihat kilat dingin seorang pemain catur yang sedang menatap papan permainannya, yakin bahwa ia telah mengatur setiap bidak untuk sebuah kemenangan yang tak terhindarkan. Mata mereka bertemu sejenak melintasi ruangan yang ramai itu. Tidak ada senyum, tidak ada anggukan. Hanya sebuah pengakuan diam. Permainan telah dimulai.
Kongres dibuka oleh seorang pangeran sepuh dari Keraton Yogyakarta, seorang tokoh yang sangat dihormati. Pidato pembukaannya indah, puitis, dan sama sekali tidak berbahaya. Ia berbicara tentang luhurnya kebudayaan Jawa, tentang pentingnya menjaga tradisi leluhur di tengah arus modernitas. Itu adalah pidato yang sempurna untuk meninabobokan, bukan untuk membangkitkan.
Lalu, Tirtodarmo dipersilakan naik ke podium. Ia berbicara dengan kefasihan seorang orator ulung. Ia memuji kemurahan hati pemerintah Hindia Belanda yang telah memberikan kesempatan pendidikan bagi kaum terpilih. Ia memaparkan rencananya untuk Budi Utomo: sebuah organisasi yang akan fokus pada pengumpulan dana beasiswa, pendirian sekolah-sekolah kebudayaan Jawa, dan penerbitan kembali naskah-naskah kuno.
“Jalan kita adalah jalan kebudayaan, bukan jalan politik!” katanya, suaranya menggema. “Jalan kita adalah jalan harmoni, bukan jalan perselisihan atau perkelahian! Mari kita tunjukkan pada dunia bahwa bangsa Jawa adalah bangsa yang besar karena keluhuran budayanya, bukan karena teriakan-teriakan kosong di jalanan!”