Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #13

Air Mata Kebanggaan

Tepuk tangan yang gegap gempita di dalam aula Kweekschool itu lebih dari sekadar suara. Itu adalah sebuah gempa bumi, sebuah guncangan yang meretakkan fondasi tatanan kolonial yang tadinya terasa begitu kokoh. Para mahasiswa berdiri di atas bangku-bangku mereka, melemparkan peci dan buku catatan mereka ke udara, wajah mereka bersinar dengan api pemberontakan intelektual yang baru saja dinyalakan. Raungan persetujuan mereka adalah suara dari sebuah generasi yang telah menemukan suaranya, dan suara itu menuntut untuk didengar.

Di tengah badai tepuk tangan itu, Soetomo berdiri membeku di podium, tampak terkejut oleh kekuatan yang baru saja ia lepaskan. Ia menatap lautan wajah di hadapannya, dan ia melihat bukan lagi hanya teman-teman sekelasnya, melainkan cikal bakal dari sebuah bangsa. Di barisan para bangsawan priyayi, keheningan yang dingin terasa. Wajah-wajah mereka yang biasanya tenang dan penuh wibawa kini menunjukkan campuran antara kaget, kemarahan, dan sedikit ketakutan. Mereka baru saja menyaksikan dunia mereka yang teratur dan penuh tata krama diguncang oleh kekuatan mentah dari idealisme kaum muda. Tirtodarmo, bidak catur utama Silas, berdiri dengan wajah pucat pasi, menatap Soetomo seolah sedang melihat seorang pengkhianat.

Di balkon atas, Silas van der Lijn tidak lagi repot-repot menyembunyikan amarahnya. Senyumnya yang ramah telah lenyap, digantikan oleh topeng dingin yang terbuat dari kekecewaan dan perhitungan. Ia menatap ke bawah, ke arah Dirgantara yang duduk di sudut, dan mata mereka kembali bertemu. Tatapan Silas kini tidak lagi hanya berisi pengakuan, melainkan sebuah janji. Sebuah janji akan pembalasan. Ia lalu berbalik dan meninggalkan balkon itu tanpa suara, menghilang seperti hantu.

Di barisan belakang, Dirgantara menghela napas yang baru ia sadari telah ditahannya. Di sampingnya, Sariyah masih menangis dalam diam, air mata kebanggaan mengalir di pipinya. Tirto Adhi Soerjo, sang pejuang tua, hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Anak itu …,” bisiknya. “Dia memiliki api dari seratus naga di dalam hatinya.”

Ketua kongres, pangeran sepuh dari Keraton, akhirnya berhasil menenangkan suasana dengan beberapa kali mengetukkan palu kayunya, babak berikutnya dari pertarungan ini dimulai: perdebatan resmi untuk merumuskan anggaran dasar organisasi.

Tirtodarmo, bidak catur utama Silas, adalah yang pertama meminta untuk berbicara. Ia berjalan ke podium dengan keanggunan seorang bangsawan, wajahnya telah kembali tenang, seolah pidato Soetomo yang menggelegar tadi tidak pernah terjadi.

“Saudara-saudara sekalian,” mulainya dengan suara yang halus dan penuh wibawa. “Kita semua baru saja mendengar sebuah pidato yang sangat bersemangat dari Nakmas Soetomo. Sebuah pidato yang lahir dari hati yang mulia dan penuh dengan cita-cita.” Ia berhenti sejenak, membiarkan sanjungan palsunya meresap. “Namun, cita-cita, sehebat apa pun ia, harus berpijak di atas bumi kenyataan. Kita tidak hidup di dunia dongeng di mana kata-kata bisa mengubah nasib.”

Ia menatap lurus ke arah barisan mahasiswa. “Kita adalah sebuah tunas yang baru saja tumbuh di bawah naungan pohon besar pemerintah Hindia Belanda. Sebuah tunas yang rapuh. Jika kita mencoba untuk tumbuh terlalu cepat, terlalu liar, menantang sang pohon besar, maka kita tidak akan pernah menjadi pohon kita sendiri. Kita hanya akan dipatahkan sebelum sempat berdaun.”

Argumennya begitu cerdas, begitu halus. Ia tidak menyerang idealisme Soetomo; ia hanya membingkainya sebagai kenaifan yang berbahaya.

“Oleh karena itu,” lanjutnya, “saya mengusulkan agar anggaran dasar Budi Utomo kita ini berfokus pada satu hal yang luhur dan tidak akan pernah bisa diperdebatkan: kebudayaan. Mari kita pusatkan energi kita untuk mengagungkan kembali warisan leluhur kita. Mari kita dirikan sekolah-sekolah tari, kita terbitkan kembali naskah-naskah kuno, kita lestarikan seni gamelan. Mari kita buktikan pada dunia bahwa kita adalah bangsa yang beradab. Itulah jalan yang aman. Itulah jalan yang bijaksana.”

Pidatonya disambut oleh anggukan-anggukan setuju dari para priyayi tua. Logika “keamanan” dan “kebijaksanaan” adalah musik yang merdu di telinga mereka.

Saat Tirtodarmo selesai, Tjipto Mangoenkoesoemo langsung melompat berdiri, tidak bisa lagi menahan amarahnya. “Jalan yang aman?” teriaknya, suaranya yang serak penuh dengan cemoohan. “Jalan yang kau usulkan itu bukanlah jalan, melainkan sebuah sangkar emas! Kau ingin kita menari dan menembang sementara saudara-saudara kita di desa-desa mati kelaparan? Kau ingin kita membaca naskah kuno sementara anak-anak kita tidak bisa membaca huruf sama sekali?”

Ia menunjuk ke arah Tirtodarmo. “Kebudayaan yang kau agungkan itu adalah kebudayaan istana! Kebudayaan segelintir orang! Bagaimana dengan kebudayaan jutaan rakyat jelata yang tidak memiliki apa-apa selain keringat dan air mata? Apakah penderitaan mereka bukan bagian dari kebudayaan kita?”

Lihat selengkapnya