Dirgantara, dan Sariyah menyelinap keluar ke halaman belakang yang lebih sepi, ke bawah naungan sebuah pohon sawo yang rindang. Terlihat ada keheningan yang canggung namun nyaman menyelimuti mereka. Mereka adalah dua arsitek dari sebuah momen historis, namun kini mereka kembali menjadi dua orang asing yang terikat oleh sebuah rahasia yang terlalu besar.
“Kau tampak … sedih, Raden Mas,” kata Sariyah pelan, mengamati wajah Dirgantara. “Kita baru saja meraih sebuah kemenangan.”
Dirgantara menatap ke arah kerumunan mahasiswa yang masih merayakan Soetomo. “Setiap kemenangan memiliki harga, Nyi,” jawabnya, suaranya terdengar jauh. “Dan terkadang, harga itu baru akan terasa lama setelah pertempuran usai.”
Pikirannya tidak lagi berada di Yogyakarta tahun 1908. Ia kembali terlempar ke masa lalu yang lain. Saat ia melihat semangat persatuan di mata para mahasiswa itu, ia teringat pada semangat yang sama di mata para prajurit Gowa saat mereka bersorak untuk Sultan Hasanuddin. Sebuah semangat yang pada akhirnya harus menghadapi kenyataan pahit dari kekalahan dan perpecahan. Saat ia mendengar tentang mimpi akan sebuah bangsa yang adil, ia teringat pada mimpi Zahira tentang sebuah imperium dagang yang damai, sebuah mimpi yang ia tahu telah ia bantu nodai dengan konsekuensi dari tindakannya.
Dan saat ia melihat api perlawanan di mata Tjipto, ia teringat pada api yang sama di mata Ratna Laras. Api yang dingin, terkendali, dan didasari oleh sumpah yang tak tergoyahkan.
Ia tanpa sadar menyentuh tas kulitnya, merasakan tonjolan Kujang Naga di dalamnya. Gema dari tiga zaman, tiga perempuan, tiga perjuangan, semuanya beradu di dalam benaknya, menciptakan sebuah simfoni kesedihan yang sunyi. Ia telah melihat begitu banyak fajar, namun ia tahu bahwa setiap fajar selalu diikuti oleh senja.
“Aku bertanya-tanya,” kata Sariyah pelan, seolah bisa merasakan kegelisahan Dirgantara. “Seperti apa perempuan-perempuan di ‘kampung halamanmu’ yang jauh itu, Raden Mas? Apakah mereka seberani para pejuang perempuan yang kita baca dalam Babad Tanah Jawi?”
Pertanyaan itu begitu polos, begitu tulus, hingga membuat hati Dirgantara terasa sakit. Ia menatap Sariyah, melihat pada matanya yang cerdas, pada semangatnya yang membara, pada jemarinya yang bernoda tinta dan ia melihat gema dari ketiga perempuan itu di dalam dirinya.
“Perempuan-perempuan di tempat asalku …” ia memulai, suaranya serak. “Mereka sangat kuat, Nyi. Ada yang sekuat benteng, yang sumpahnya adalah perisainya. Ada yang secerdas samudra, yang pengetahuannya adalah arusnya. Dan ada yang sebijaksana bumi itu sendiri, yang ingatannya adalah akarnya.” Ia tersenyum sedih. “Aku beruntung pernah mengenal beberapa dari mereka.”
Sariyah menatapnya, dan di matanya ada pemahaman yang melampaui kata-kata. Ia tidak mengerti referensi Dirgantara, tapi ia mengerti rasa kehilangan di dalam suaranya. Ia merasakan bahwa lelaki di hadapannya ini adalah seorang pengembara abadi, yang hatinya dipenuhi oleh jejak-jejak dari pelabuhan-pelabuhan yang telah ia tinggalkan.
“Kalau begitu,” bisik Sariyah. “Kita harus memastikan bahwa di Hindia yang baru ini, akan lahir perempuan-perempuan seperti itu.”