Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #15

Serangan Balik Sang Penenun Jaring

Kemenangan di Yogyakarta terasa seperti sebuah mimpi yang singkat dan indah. Saat Dirgantara, Tirto, dan Sariyah kembali ke Batavia dengan kereta api, mereka membawa serta gema dari tepuk tangan yang gegap gempita, euforia dari sebuah fajar yang baru saja mereka paksa untuk terbit. Untuk pertama kalinya, di tengah gerbong kereta yang berderak dan berayun, mereka membiarkan diri mereka untuk berharap. Mereka tertawa, merencanakan artikel-artikel berikutnya, dan berdebat dengan penuh semangat tentang masa depan Budi Utomo. Mereka adalah tiga konspirator yang telah berhasil menyalakan sebuah api, dan kehangatannya terasa begitu nyata.

Namun, saat kereta uap itu memasuki Stasiun Gambir yang ramai, dan mereka kembali menginjakkan kaki di jantung kekuasaan kolonial, realitas yang dingin dan keras kembali menyergap mereka.

Dirgantara merasakan perubahan itu seketika. Saat ia membantu Sariyah turun dari kereta, ia melihat mereka: dua orang lelaki Eropa berpakaian sipil yang berdiri diam di peron, berpura-pura sedang menunggu penumpang lain. Namun mata mereka tidak pernah lepas dari rombongan Tirto. Mereka adalah Politieke Inlichtingen Dienst atau PID, polisi rahasia pemerintah. Pengawasan telah dimulai.

Silas van der Lijn bukanlah seorang komandan yang akan mengamuk saat kalah dalam satu pertempuran. Ia adalah seorang ahli strategi yang dingin. Kekalahannya di kongres tidak membuatnya marah; itu membuatnya menjadi lebih fokus, lebih metodis, dan jauh lebih berbahaya. Ia telah meremehkan lawannya. Kini, ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Ia tidak akan lagi mencoba mengendalikan Budi Utomo. Ia akan menghancurkan sumber inspirasinya. Ia akan membunuh suara yang telah membangkitkannya.

Serangan balasan itu datang bukan dengan pekikan perang, melainkan dengan goresan pena di atas secarik kertas resmi.

Pagi hari setelah mereka kembali, saat Tirto sedang bersemangat menyusun tajuk rencana utama tentang keberhasilan kongres, seorang kurir dari kantor pos datang. Ia membawa sebuah surat bersampul tebal dengan segel dari Departemen Percetakan Hindia Belanda.

“Peringatan Resmi Pertama,” baca Tirto pelan, matanya menyipit. Surat itu, yang ditulis dalam bahasa Belanda yang birokratis dan tanpa emosi, menuduh Medan Prijaji telah “menerbitkan tulisan-tulisan yang berpotensi mengganggu ketertiban umum dan menanamkan kebencian terhadap pemerintah yang sah.” Surat itu diakhiri dengan sebuah ancaman yang terselubung: satu pelanggaran lagi, dan izin terbit mereka akan dicabut secara permanen.

“Ini konyol!” seru Sariyah, membaca surat itu dari balik bahu Tirto. “Artikel mana? Mereka bahkan tidak menyebutkan artikel yang mana!”

“Tentu saja tidak,” kata Dirgantara pelan, menatap surat itu. “Tujuannya bukan untuk menjadi adil. Tujuannya adalah untuk menciptakan ketakutan. Untuk membuat kita menyensor diri kita sendiri. Untuk membuat kita ragu-ragu setiap kali akan menulis sebuah kalimat yang tajam.”

Itu adalah serangan pertama, sebuah tembakan peringatan yang ditujukan langsung ke jantung keberanian mereka.

Serangan kedua datang pada sore harinya, dan ini jauh lebih mematikan. Tuan van den Broek, pemilik percetakan Belanda yang selama ini menjadi satu-satunya harapan mereka, datang sendiri ke kantor redaksi. Wajahnya pucat dan tangannya gemetar.

“Aku tidak bisa lagi, Tirto,” katanya, suaranya nyaris seperti bisikan. Ia tidak berani menatap mata sang jurnalis. “Aku minta maaf.”

“Ada apa, Jan?” tanya Tirto, meletakkan tangannya di bahu lelaki tua itu.

“Mereka datang ke tempatku pagi ini,” lanjut van den Broek, matanya menatap kosong. “Dua orang dari kantor pajak. Mereka bilang ada ‘ketidakberesan’ dalam pembukuanku selama lima tahun terakhir. Mereka mengancam akan menyita mesin cetakku, rumahku … segalanya.” Ia akhirnya mengangkat kepalanya, dan di matanya ada air mata. “Aku punya keluarga, Tirto. Aku punya cucu. Aku tidak bisa …”

Tirto tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan, rasa sakit dan pemahaman terlihat jelas di wajahnya. “Aku mengerti, Jan. Terima kasih atas semua bantuanmu selama ini.”

Lihat selengkapnya