Keesokan harinya, Heer van de Berg datang. Ia tidak datang dengan kereta mewahnya, melainkan dengan sebuah pedati tertutup yang biasa digunakan untuk mengangkut barang, dikemudikan oleh seorang kusir pribumi yang pendiam. Tidak ada kemegahan bangsawan, tidak ada lambang kebesaran. Dari luar, tak ada yang istimewa, hanya pedati yang bisa saja membawa karung beras seperti pedagang-pedagang lain di Batavia. Namun di balik kesederhanaan itu tersembunyi sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari sekadar rempah atau hasil bumi. Di bawah tumpukan karung, terselip sebuah mesin stensil. Benda yang sederhana bentuknya, tetapi bagi mereka adalah jantung perlawanan, lebih berharga daripada seluruh emas di gudang pemerintah kolonial.
Van de Berg tidak hanya membawa mesin itu. Ia juga telah menyiapkan tempat persembunyian baru, sebuah gudang tua di belakang toko kelontong milik seorang Tionghoa di kawasan Glodok. Pemilik toko itu, Liem Giok Hian, seorang lelaki berkacamata dengan kepala botak yang tampak selalu berkeringat, ternyata adalah bagian dari jaringan Gema. Ia mempertaruhkan hidup dan usahanya demi menyediakan ruang tersembunyi bagi suara yang baru lahir.
Malam itu, mereka memindahkan sisa-sisa kehidupan lama. Tumpukan kertas, botol-botol tinta yang sudah mulai mengering, dan buku-buku referensi yang dulu mengisi rak kantor Medan Prijaji dibawa dengan hati-hati. Semua itu tampak lusuh, namun tetap memiliki bobot sejarah, seakan menjadi saksi bisu dari perlawanan yang tak pernah benar-benar padam.
Tirto berdiri di depan pintu kantornya untuk terakhir kalinya. Kunci besi yang ia genggam terasa dingin dan berat, seolah menahan sesuatu di dalam hatinya. Ia tidak merasa sedih ketika pintu itu tertutup rapat, tidak ada air mata yang jatuh. Yang hadir hanyalah rasa aneh, rasa bebas, seakan ia baru saja melepaskan kulit lama yang telah usang. Ia meninggalkan sesuatu yang pernah ia cintai, namun di balik itu ia juga tahu bahwa dirinya sedang berubah menjadi sesuatu yang baru, lebih berbahaya, lebih tak terikat.
Gudang yang menjadi tempat persembunyian mereka jauh dari kata layak. Ruangan sempit itu penuh debu, berbau kapuk, dengan dinding kayu tipis yang sudah dimakan usia. Beberapa lampu minyak yang digantung seadanya menjadi satu-satunya penerangan, menciptakan bayangan panjang di papan lantai yang retak. Atapnya bocor, dan dari celahnya meneteskan air yang menimbulkan noda gelap di lantai. Namun justru di balik segala kekumuhan itu, mereka merasakan keamanan yang tak mereka temukan di tempat lain. Di luar, suara pasar Glodok terdengar riuh. Teriakan pedagang, derit roda gerobak, tawa anak-anak. Kebisingan itu menembus dinding kayu, tetapi justru itulah yang membuat mereka tak terlihat. Di jantung keramaian, bayangan mereka bisa bersembunyi tanpa dicurigai.
Mesin stensil itu ditempatkan di atas meja kayu tua. Cahaya lampu minyak menyapu permukaannya yang kusam, memperlihatkan bentuknya yang polos, tanpa hiasan, tanpa kemewahan. Tirto dan Sariyah memandanginya dengan mata berbinar, seakan menatap sebuah keajaiban. Dirgantara menjelaskan cara kerjanya dengan sabar: bagaimana kertas lilin ditempatkan, bagaimana huruf-huruf ditorehkan lewat mesin tik, bagaimana tinta dituangkan, dan bagaimana engkol diputar agar salinan-salinan lahir satu demi satu.