Fajar yang menyingsing di atas Batavia keesokan harinya membawa serta sebuah bisikan baru. Bisikan itu menyebar lebih cepat daripada surat kabar mana pun, lebih menular daripada wabah apa pun. Ia menyelinap di bawah pintu-pintu rumah para pejabat, ia berpindah dari tangan seorang kuli ke tangan seorang pedagang di pasar-pasar yang becek, dan ia menjadi bahan tawa yang tertahan di kedai-kedai kopi yang ramai. Pamflet Warta Kilat pertama mereka, dengan karikaturnya yang kasar namun menusuk, telah menjadi sebuah sensasi.
Di dalam gudang persembunyian mereka di Glodok, Dirgantara, Tirto, dan Sariyah merasakan gema dari ledakan kecil yang telah mereka ciptakan. Heer van de Berg, yang jaringannya bekerja tanpa lelah, membawakan mereka laporan-laporan dari seluruh kota.
“Tuan van Heutsz menjadi bahan tertawaan di Sociëteit Concordia,” lapor van de Berg pada suatu pagi, matanya berkilat geli. “Mereka bilang ia kini takut pada tongkatnya sendiri. Beberapa pejabat lain yang tamak mulai gelisah, takut jika karikatur mereka akan menjadi yang berikutnya.”
“Dan di kalangan pribumi?” tanya Tirto, suaranya penuh harap.
“Lebih baik lagi,” jawab van de Berg. “Pamflet itu menjadi sebuah simbol. Sebuah lelucon rahasia yang menyatukan mereka. Mereka melihat bahwa raksasa kolonial itu bisa diejek, bisa dipermalukan. Kau tidak hanya menyerang satu orang, Tirto. Kau telah menanamkan benih keberanian.”
Di dalam gudang yang sempit dan berbau tinta stensil itu, sebuah energi baru yang luar biasa berdenyut. Keputusasaan yang tadinya menyelimuti mereka kini telah lenyap, digantikan oleh semangat para konspirator yang telah merasakan kemenangan pertamanya. Tirto Adhi Soerjo seolah terlahir kembali. Api yang tadinya nyaris padam di matanya kini berkobar lebih terang dari sebelumnya. Ia berjalan mondar-mandir di ruangan sempit itu, melontarkan ide-ide baru untuk pamflet berikutnya dengan semangat seorang jenderal yang merancang sebuah kampanye militer.
“Kita akan menyerang Departemen Pekerjaan Umum minggu depan!” serunya. “Aku punya data tentang jembatan-jembatan yang mereka bangun dengan semen berkualitas rendah! Kita akan menggambarnya sebagai jembatan yang terbuat dari roti jahe!”
Sariyah, yang duduk di sudut, tertawa. Itu adalah tawa pertama yang tulus yang Dirgantara dengar darinya sejak Medan Prijaji dibungkam. Kepercayaan dirinya telah kembali. Ia tidak lagi hanya seorang penulis; ia adalah seorang seniman propaganda, seorang pejuang bayangan yang senjatanya adalah karikatur dan sindiran. Ia mulai membuat sketsa-sketsa baru di buku catatannya, gambarnya kini lebih berani, lebih tajam.
Dirgantara menyaksikan kedua sekutunya itu, dan ia merasakan kehangatan yang langka. Ia melihat sebuah tim yang solid, sebuah keluarga kecil yang lahir dari perjuangan. Ia telah berhasil. Ia telah membangkitkan kembali semangat mereka. Namun, di balik kehangatan itu, sebuah kegelisahan yang dingin terus mengintai di sudut pikirannya.
Ia mengenal lawannya. Silas, atau agen Lembaga mana pun yang menggunakan persona itu, bukanlah seorang amatir yang akan panik karena sebuah karikatur. Kekalahan kecil ini hanya akan membuatnya menganalisis, beradaptasi, dan membalas dengan cara yang lebih cerdas. Keheningan dari pihak pemerintah selama beberapa hari setelah pamflet itu tersebar bukanlah tanda ketakutan. Itu adalah tanda dari seekor ular kobra yang sedang mengumpulkan racunnya, bersiap untuk sebuah gigitan yang mematikan.
“Jangan terlalu cepat merayakannya,” kata Dirgantara pada suatu malam, suaranya yang tenang memotong euforia mereka. “Silas tidak akan tinggal diam. Ia tidak akan mengulangi kesalahannya dengan melakukan penindasan terbuka. Itu hanya akan menjadikan kita korban.”
“Lalu apa yang akan ia lakukan?” tanya Tirto, menghentikan langkahnya.
“Ia akan melawan api dengan api,” jawab Dirgantara. “Jika ia tidak bisa menghentikan suara kita, maka ia akan mencoba merusaknya. Ia akan menciptakan suara-suara lain yang gaduh untuk menenggelamkan suara kita.”