Kabut beracun yang dilepaskan oleh Silas van der Lijn merayap perlahan-lahan ke dalam setiap sudut Batavia, meracuni sumur-sumur percakapan di warung kopi dan menaburkan benih kecurigaan di pasar-pasar yang ramai. Pamflet-pamflet kebencian itu, yang dicetak dengan gaya kasar yang meniru Warta Kilat, menjadi sebuah wabah.
Di Pecinan, para pedagang Tionghoa yang tadinya ramah kini menatap para pelanggan pribumi mereka dengan tatapan waspada. Di Kampung Arab, para saudagar yang telah hidup damai selama puluhan tahun kini menjadi sasaran cemoohan dan tuduhan-tuduhan tak berdasar.
Silas tidak hanya menyerang Dirgantara dan sekutunya; ia sedang melakukan pembedahan brutal terhadap struktur sosial kota itu, memisahkan setiap organ, setiap jaringan, dan membiarkannya saling membusuk.
Di dalam gudang persembunyian mereka di Glodok, keheningan yang menyelimuti ketiga pemberontak itu adalah keheningan yang paling menyakitkan. Itu adalah keheningan dari kekalahan total. Mesin stensil mereka berdiri di sudut, dingin dan tak tersentuh, seolah telah ikut teracuni. Setiap lembar Warta Kilat yang telah mereka cetak dengan penuh semangat kini terasa seperti sebuah kesalahan, sebuah senjata yang telah direbut oleh musuh dan digunakan untuk menikam mereka dari belakang.
Tirto Adhi Soerjo adalah yang paling hancur. Ia berjalan mondar-mandir di ruangan sempit itu seperti seekor harimau yang terperangkap di dalam sangkar yang terlalu kecil. Asap kreteknya mengepul tanpa henti, mengisi ruangan dengan aroma tembakau dan keputusasaan.
“Dia telah merampok suara kita,” desisnya, suaranya serak karena amarah dan kurang tidur. Ia mengambil salah satu pamflet beracun yang menuduh orang Sunda sebagai pengkhianat. “Dia mengambil senjata kita, Sari, Raden! Senjata yang kita banggakan! Dan kini ia menggunakannya untuk membuat saudara membenci saudara!” Ia meremas pamflet itu menjadi bola yang kusut dan melemparkannya ke sudut. “Bagaimana kita bisa melawan ini? Jika kita mencetak pamflet baru yang menyerukan persatuan, orang-orang hanya akan melihatnya sebagai satu lagi suara gaduh di tengah kekacauan ini! Mereka tidak akan tahu lagi mana yang benar dan mana yang racun!”
Sariyah duduk di atas sebuah peti kayu, wajahnya tertunduk. Buku catatannya yang biasanya selalu penuh dengan ide dan sketsa kini tergeletak tertutup di sampingnya. Ia telah mencurahkan seluruh keyakinannya pada kekuatan kata-kata untuk mencerahkan, untuk menyatukan. Dan kini, ia harus menyaksikan bagaimana kata-kata itu dipelintir, dibajak, dan diubah menjadi alat untuk menggelapkan pikiran. Rasanya seperti seorang tabib yang ramuannya telah dicuri dan digunakan untuk meracuni seluruh desa. Setiap suku kata yang pernah ia tulis kini terasa seperti sebuah dosa.
Dirgantara berdiri di dekat pintu, mengamati kedua sekutunya yang sedang tenggelam. Ia merasakan gelombang kemarahan yang dingin. Ini adalah pola Lembaga yang klasik, yang telah ia lihat jejaknya di arsip-arsip sejarah. Ciptakan kekacauan, lalu tawarkan dirimu sebagai satu-satunya penyelamat yang bisa membawa ketertiban.
Silas tidak hanya ingin menghancurkan pergerakan Budi Utomo; ia sedang menciptakan kondisi di mana pemerintah kolonial bisa masuk sebagai “penjaga kedamaian”, menekan semua organisasi pribumi, baik yang progresif maupun yang rasis dengan alasan menjaga stabilitas. Itu adalah sebuah permainan catur yang brilian dan mematikan.
Ia tahu mereka berada dalam sebuah zugzwang, sebuah istilah catur dari dunianya di mana setiap langkah yang bisa mereka ambil hanya akan memperburuk posisi mereka. Jika mereka diam, Silas menang. Jika mereka berbicara, mereka justru akan membantu menyebarkan kekacauannya. Mereka telah kalah dalam perang propaganda ini.
“Kalau begitu,” kata Dirgantara pelan, suaranya memecah keheningan yang berat. “Kita harus berhenti berperang di medan perang ini.”
Tirto dan Sariyah menatapnya, tidak mengerti.
“Silas ingin kita bertarung di jalanan, di antara bisikan dan pamflet,” lanjut Dirgantara. “Karena di sanalah ia bisa bersembunyi di balik kekacauan yang ia ciptakan. Ia adalah seorang penenun jaring yang ulung. Kita tidak akan pernah bisa menangkapnya di dalam jaringnya sendiri.” Ia berjalan ke tengah ruangan. “Kita tidak bisa lagi menyerang pion-pionnya. Kita harus menyerang sang pemain catur itu sendiri.”
“Menyerang Silas?” cibir Tirto. “Bagaimana? Dia dilindungi oleh seluruh kekuatan pemerintah. Dia tak tersentuh.”