Dua puluh empat jam setelah gertakan Tirto Adhi Soerjo di Hotel des Indes adalah dua puluh empat jam terpanjang dalam hidup mereka. Gudang persembunyian di Glodok, yang tadinya telah menjadi pusat perencanaan yang penuh semangat, kini kembali diselimuti oleh keheningan yang tegang. Mereka tidak mencetak pamflet. Mereka tidak merancang strategi. Mereka hanya menunggu. Menunggu untuk melihat apakah pedang Damocles yang telah digantung oleh Tirto di atas kepala Tuan van der Capellen akan jatuh menimpa mereka, atau memaksa sang raksasa untuk berlutut.
Setiap derit pintu di luar, setiap teriakan pedagang di pasar, terdengar seperti langkah kaki polisi rahasia yang datang untuk menangkap mereka. Sariyah mencoba untuk menulis, namun penanya hanya melayang di atas kertas kosong. Tirto mencoba untuk membaca, namun matanya hanya menatap kosong ke halaman yang sama berulang-ulang. Dirgantara, dengan inderanya yang disempurnakan, adalah yang paling tersiksa. Ia bisa mendengar detak jantung kedua sekutunya yang berpacu, merasakan getaran kegelisahan mereka di udara yang pengap. Ia adalah seorang penjaga waktu yang kini terperangkap dalam kelambatan waktu itu sendiri.
Lalu, pada sore hari berikutnya, keajaiban pertama terjadi.
Telepon di kantor kelontong Tionghoa di depan berdering nyaring. Sang pemilik toko yang tua, yang merupakan anggota jaringan Gema, masuk ke dalam gudang dengan wajah yang sulit diartikan.
“Telepon,” katanya singkat. “Untuk Tuan Tirto. Dari seorang meneer bernama Jan van den Broek.”
Tirto bangkit dengan gerakan yang kaku, wajahnya pucat. Ini dia. Momen penentuan. Ia berjalan keluar menuju toko, langkahnya terasa berat. Dirgantara dan Sariyah saling berpandangan, menahan napas.
Beberapa menit kemudian, Tirto kembali. Ia tidak berlari. Ia berjalan dengan sangat lambat, seolah sedang membawa benda yang sangat berharga dan rapuh. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang belum pernah Dirgantara lihat sebelumnya: sebuah campuran antara rasa tidak percaya, kelegaan yang luar biasa, dan kegembiraan yang nyaris kekanak-kanakan.
“Mesinnya,” bisiknya, suaranya serak. “Mesin cetaknya… secara ajaib telah diperbaiki.” Ia menatap mereka berdua, air mata mulai menggenang di matanya yang lelah. “Jan bilang… ia tidak tahu apa yang terjadi. Pagi tadi, seorang teknisi dari Eropa datang, memperbaiki bagian yang ‘rusak’ dalam waktu satu jam, dan pergi tanpa meminta bayaran sepeser pun. Jan bilang… ia siap mencetak untuk kita lagi. Kapan pun kita mau.”
Sariyah menutup mulutnya dengan kedua tangan, sebuah isak kelegaan yang tertahan keluar dari bibirnya. Gertakan itu berhasil. Raksasa itu telah mengedipkan matanya.
Keajaiban-keajaiban berikutnya datang silih berganti selama sisa minggu itu, seperti sebuah musim semi yang datang setelah musim dingin yang panjang dan membekukan. Pemasok kertas mereka mengirimkan surat, meminta maaf atas “kesalahan harga” dan menawarkan diskon khusus. Para donatur yang tadinya menghilang tiba-tiba muncul kembali, mengirimkan sumbangan-sumbangan besar dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, seperti “baru saja mendapatkan warisan” atau “tergerak oleh semangat kongres di Yogyakarta”. Para loper koran mereka kembali, melaporkan bahwa preman-preman yang tadinya mengancam mereka kini telah lenyap entah ke mana.
Dalam waktu kurang dari seminggu, Medan Prijaji telah bangkit dari kuburnya. Arus telah berbalik.
Di tengah kebangkitan kembali yang penuh euforia itu, sebuah perdebatan baru yang sengit lahir di antara ketiga sekutu itu.
“Kita harus segera mencetak edisi terbaru!” seru Tirto dengan semangat baru, berjalan mondar-mandir di kantor redaksi lama mereka yang kini telah mereka buka kembali. “Kita akan memuat laporan lengkap tentang keberhasilan kongres Budi Utomo! Kita akan memuat pidato Soetomo secara penuh! Kita akan tunjukkan pada seluruh Hindia bahwa suara kita tidak bisa dibungkam!”
Ia ingin kembali ke medan perang yang terang, ke tempat di mana ia adalah sang singa. Namun Dirgantara, yang pikirannya selalu selangkah di depan, melihat sebuah bahaya baru.