Kelahiran kembali Medan Prijaji adalah sebuah keajaiban yang dirayakan dalam keheningan. Tidak ada pesta, tidak ada sorak-sorai. Kemenangan mereka atas Silas van der Lijn adalah sebuah rahasia yang terlalu berbahaya untuk dibisikkan, bahkan di antara mereka sendiri. Namun, energi baru itu terasa nyata. Ia berdenyut di dalam kantor redaksi yang kini kembali sibuk, di dalam derit mesin cetak yang kembali bekerja, dan yang terpenting, di dalam mata para pejuang pena yang telah bangkit dari abu kekalahan.
Mereka kini menjalankan sebuah perang di dua front. Siang hari, Medan Prijaji adalah wajah dari perlawanan yang terhormat. Tirto Adhi Soerjo, dengan keahliannya yang luar biasa, mengubah surat kabar itu menjadi sebuah panggung diplomasi yang elegan. Ia memuat tulisan-tulisan dari para bangsawan progresif, membahas pentingnya pendidikan Barat, mengulas pertunjukan-pertunjukan gamelan, dan sesekali, di antara baris-baris yang aman itu, ia menyelipkan sebuah artikel tajam dari Sariyah yang mempertanyakan kebijakan agraria pemerintah atau kondisi para kuli di perkebunan. Itu adalah sebuah perlawanan yang dibungkus dalam sutra, sebuah tuduhan yang disamarkan sebagai pertanyaan sopan.
Namun saat malam tiba, perang yang sesungguhnya dimulai. Di dalam gudang persembunyian mereka di Glodok yang pengap, monster kedua mereka, Warta Kilat, lahir dalam kerahasiaan. Di sinilah topeng kesopanan dilepaskan. Karikatur-karikatur kasar yang digambar oleh Sariyah mengejek para pejabat kolonial dengan brutal. Tulisan-tulisan anonim yang tajam, yang ditulis oleh Tirto dan disempurnakan oleh Dirgantara, membongkar skandal-skandal kecil—seorang asisten residen yang menggunakan dana umum untuk membeli kuda pacu, seorang kapten polisi yang menerima suap dari bandar-bandar candu. Pamflet-pamflet itu adalah belati-belati kecil yang mereka lemparkan dari kegelapan, menciptakan paranoia dan saling curiga di dalam tubuh pemerintahan kolonial.
Dirgantara adalah poros dari operasi ganda ini. Siang hari, ia adalah Raden Mas Suryo Adiningrat yang terhormat, berdiskusi tentang sastra dengan para pejabat di Sociëteit Concordia, telinganya menangkap setiap gosip dan informasi. Malam hari, ia adalah sang ahli strategi bayangan, membantu Tirto dan Sariyah merancang serangan mereka berikutnya.
Di tengah kesibukan yang berbahaya inilah, ikatan antara dirinya dan Sariyah semakin dalam, ditempa dalam api perjuangan bersama. Mereka menjadi sebuah tim yang tak terpisahkan. Pikiran mereka seolah terhubung dalam sebuah harmoni yang aneh. Dirgantara akan memberikan sebuah ide strategis yang abstrak, dan Sariyah, seolah bisa membaca benang merah di dalam pikirannya, akan langsung mengubahnya menjadi sebuah narasi yang kuat dan menggugah.
Mereka sering kali bekerja hingga larut malam, lama setelah Tirto dan para juru tulis lainnya pulang. Di dalam keheningan kantor redaksi yang hanya diterangi oleh satu lampu minyak, dikelilingi oleh tumpukan buku dan aroma kopi pahit, mereka akan berdebat, tertawa, dan merancang masa depan sebuah bangsa yang belum lahir.
“Kau harus lebih berhati-hati dengan kata-katamu dalam artikel ini, Nyi,” kata Dirgantara pada suatu malam, menunjuk sebuah draf yang ditulis Sariyah. Artikel itu adalah sebuah kritik pedas terhadap sistem cultuurstelsel yang baru saja dihapuskan namun warisannya masih mencekik para petani. “Ini terlalu langsung. Kau menuduh mereka sebagai ‘lintah darat berseragam’. Sensor akan langsung membakarnya.”
“Tapi itu adalah kebenarannya!” balas Sariyah, matanya yang lelah berkilat di balik kacamatanya. “Mengapa aku harus membungkus kebenaran dengan kiasan? Mengapa aku harus melembutkan pisauku?”
“Karena pisau yang terlalu berkilau akan terlihat oleh penjaga bahkan sebelum sempat menusuk,” jawab Dirgantara dengan sabar. Ia mengambil pena. “Kau tidak perlu mengubah amarahmu. Kau hanya perlu mengubah senjatamu.”
Selama satu jam berikutnya, ia tidak menggurui. Ia berdiskusi. Ia menunjukkan pada Sariyah bagaimana cara mengubah tuduhan menjadi pertanyaan, bagaimana cara menggunakan data-data statistik pemerintah sendiri untuk menunjukkan kontradiksi dalam kebijakan mereka, bagaimana cara membiarkan pembaca sampai pada kesimpulan yang marah dengan sendirinya, tanpa perlu diteriakkan.
Sariyah menatap Dirgantara, kekaguman di matanya bercampur dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih hangat. “Di mana kau belajar semua ini, Raden Mas?” bisiknya. “Terkadang, kau berbicara bukan seperti seorang bangsawan, melainkan seperti seorang jenderal tua yang telah melihat seratus perang.”