Keheningan yang ditinggalkan oleh kata kata Sariyah terasa lebih berat daripada keheningan makam. Di bawah naungan pohon beringin yang agung, Soetomo berdiri membeku, wajahnya yang tadinya penuh dengan keyakinan diri kini luruh menjadi sebuah topeng kebingungan dan rasa malu. Argumen logis Dirgantara telah menantang otaknya, tetapi bisikan emosional Sariyah telah merobek sanubarinya. Ia tidak lagi melihat sebuah tawaran dana hibah; ia melihat sepasang mata dari seorang petani di Rembang. Ia tidak lagi mendengar janji gedung yang megah; ia mendengar tangisan dari mereka yang tak bersuara.
Dirgantara melihat momen itu, sebuah retakan kecil di dalam benteng pertahanan lawannya. Ia tahu, inilah saatnya untuk mundur. Mendorong lebih jauh hanya akan membuat Soetomo kembali membangun pertahanannya. Racun dari kebenaran membutuhkan waktu untuk bekerja, untuk merayap ke dalam aliran darah dan mencapai jantung. Tanpa sepatah kata pun, Dirgantara memberikan sebuah anggukan singkat pada Sariyah. Mereka berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Soetomo sendirian dengan gema dari pertanyaan yang akan menghantui malam malamnya: pilihan antara menjadi suara atau menjadi gema.
Mereka kembali ke losmen sederhana yang mereka sewa, sebuah tempat yang terasa begitu jauh dari kemewahan pesta para priyayi. Ruangan itu kecil dan pengap, hanya diterangi oleh satu lampu minyak yang cahayanya menari nari di dinding bambu. Mereka tidak berbicara. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Mereka telah menembakkan satu satunya peluru yang mereka miliki. Kini mereka hanya bisa menunggu untuk melihat apakah peluru itu mengenai sasaran, atau hanya lenyap ditelan angin.
Sariyah duduk di tepi ranjang, bahunya yang biasanya tegap kini tampak membungkuk karena kelelahan emosional yang luar biasa. Ia telah mencurahkan seluruh sisa keyakinannya ke dalam permohonan terakhir itu, dan kini ia merasa kosong.
“Apakah itu cukup?” bisiknya pada ruangan yang sunyi.
Dirgantara berdiri di dekat jendela, menatap ke arah bulan yang pucat di atas atap atap joglo. “Di setiap perang, ada satu momen yang menentukan,” katanya pelan, suaranya terdengar seperti seorang filsuf tua. “Bukan momen saat meriam terbesar ditembakkan, tetapi saat seorang prajurit di pihak lawan mulai meragukan perintah komandannya. Kau baru saja menciptakan momen itu, Nyi. Kau tidak menyerang bentengnya; kau telah menanamkan pemberontakan di dalam hati sang jenderal.”
Ia menoleh, dan di bawah cahaya lampu yang remang, ia melihat jejak air mata di pipi Sariyah. Ia merasakan sebuah dorongan yang luar biasa untuk menghapusnya, untuk memberikan sebuah kehangatan di tengah dinginnya perjuangan ini. Ia melihat di dalam diri Sariyah bukan hanya seorang sekutu yang cerdas, tetapi juga sebuah jiwa yang sama lelahnya dengan jiwanya sendiri. Di dalam diri perempuan ini, ia melihat gema dari semua perempuan kuat yang telah membentuk perjalanannya: keteguhan Ratna, kecerdasan Zahira, kebijaksanaan Daeng Ratu. Perasaan yang tumbuh di dalam hatinya untuk Sariyah terasa begitu nyata, begitu berbahaya, namun juga begitu tak terhindarkan.
“Kita telah melakukan semua yang kita bisa,” katanya lembut, suaranya kini kehilangan nada strategisnya, menyisakan hanya ketulusan. “Sekarang, kita harus percaya. Bukan pada takdir, tapi pada kebaikan yang pernah kita lihat di dalam diri Soetomo.”
Sementara itu, di paviliun yang megah, Soetomo tidak bisa menemukan kedamaian. Suara tawa dan denting gelas di sekelilingnya terdengar seperti dengungan lalat yang mengganggu. Kata kata Sariyah terus terngiang di telinganya. “Pilihan antara menjadi suara atau menjadi gema.”
Ia berjalan menjauh dari keramaian, berdiri sendirian di tepi sebuah kolam teratai. Bayangannya di air yang gelap tampak seperti orang asing. Apakah itu wajah seorang pemimpin yang baru saja meraih kemenangan? Ataukah wajah seorang pengkhianat yang belum menyadari dosanya? Pikirannya kembali ke percakapan pertamanya tentang sebuah pergerakan di halaman STOVIA. Api saat itu terasa begitu murni, begitu sederhana. Mereka tidak berbicara tentang dana hibah atau gedung kantor. Mereka berbicara tentang menyembuhkan sebuah penyakit, penyakit kebodohan, penyakit rasa rendah diri bangsanya.
Kini, seorang dokter Belanda yang ramah datang menawarkan obat yang paling mujarab: uang dan pengakuan. Namun, peringatan dari Dirgantara dan Sariyah terasa seperti sebuah diagnosa kedua yang menakutkan: obat itu mungkin akan menyembuhkan gejalanya, tetapi akan membunuh jiwa sang pasien.
Tirtodarmo, bidak catur utama Silas, mendekatinya dengan segelas anggur di tangan. “Wajahmu muram sekali, sahabatku,” katanya, suaranya halus seperti sutra. “Seharusnya kau merayakannya. Kita berada di ambang sejarah. Pemerintah akhirnya melihat kita sebagai mitra, bukan lagi sebagai anak anak sekolah yang nakal.”
“Apakah kemitraan ini memiliki harga, Tirtodarmo?” tanya Soetomo, matanya menatap tajam bayangan temannya di air.
Tirtodarmo tertawa. “Tentu saja setiap hal memiliki harga. Harganya adalah kedewasaan. Kita tidak bisa lagi berteriak teriak seperti di jalanan. Kita harus belajar berdiplomasi, berkompromi. Itulah cara dunia bekerja.”
“Atau apakah itu cara dunia mereka bekerja?” balas Soetomo pelan. Pertarungan visi itu tidak lagi terjadi di antara mereka. Pertarungan itu kini berkecamuk di dalam diri Soetomo sendiri.