Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #22

Duel Dua Zaman Modern

Kemenangan terasa seperti fajar yang rapuh. Di dalam losmen mereka yang sederhana, Dirgantara dan Sariyah merasakan kelegaan yang luar biasa, namun kelegaan itu tipis seperti kertas, dan di baliknya tersembunyi kegelisahan yang kelam. Mereka telah berhasil membelokkan arus, menyelamatkan jiwa Budi Utomo dari pelukan maut Silas. Namun, mereka berdua tahu bahwa ini bukanlah akhir. Ini hanyalah akhir dari sebuah babak.

“Dia akan membalas,” bisik Sariyah sambil merapikan tumpukan kertas dan naskah mereka, bersiap untuk perjalanan kembali ke Batavia. Gerakannya efisien, tetapi tangannya sedikit gemetar. “Orang seperti Silas tidak akan menerima kekalahan. Dia akan mencari cara lain.”

“Dia tidak akan hanya mencari cara lain,” sahut Dirgantara, matanya menatap kosong ke luar jendela, ke arah jalanan Yogyakarta yang ramai. Pikirannya tidak sedang berada di sana. Ia sedang mencoba memetakan papan catur di dalam benak lawannya. “Dia akan mengubah permainannya. Kita telah menunjukkan padanya bahwa kita bisa melawan strateginya. Sekarang, dia akan berhenti menyerang strategi kita. Dia akan mulai menyerang kita secara pribadi.”

Saat itulah ketukan di pintu terdengar. Ketukan yang tenang, sopan, dan resmi. Seorang pesuruh berseragam dari kantor residen berdiri di sana, membawa sebuah nampan perak. Di atasnya, tergeletak sebuah surat bersampul tebal dengan segel lilin yang mengesankan. Surat itu ditujukan kepada “Raden Mas Suryo Adiningrat”.

Isinya adalah sebuah undangan. Bukan sebuah panggilan resmi, melainkan sebuah undangan pribadi dari Tuan van der Capellen untuk menghadiri sebuah “pertemuan minum teh informal” sore itu di kediaman seorang pejabat tinggi Belanda. Sebuah pertemuan untuk “mendiskusikan masa depan kebudayaan dan pendidikan bagi kaum Bumiputera”.

Sariyah membaca surat itu dari balik bahu Dirgantara, dan darah serasa surut dari wajahnya. “Jangan pergi,” bisiknya, suaranya mendesak, tangannya secara refleks mencengkeram lengan Dirgantara. “Ini adalah jebakan. Van der Capellen tidak mengundangmu. Silas yang memanggilmu.”

Dirgantara menatap mata Sariyah yang dipenuhi ketakutan, dan ia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar kekhawatiran seorang sekutu. Ia melihat ketakutan yang personal, ketakutan seorang perempuan untuk keselamatan lelaki yang mulai ia pedulikan. Momen itu terasa begitu intim, begitu nyata, hingga membuat jantungnya terasa sakit.

“Aku harus pergi,” jawabnya pelan. “Menghindar hanya akan menunjukkan rasa takut. Dan rasa takut adalah amunisi bagi orang seperti dia. Ini adalah sebuah duel yang tak terhindarkan. Lebih baik menghadapinya sekarang, di medan yang aku pilih.”

“Kita sudah menang!” desak Sariyah, suaranya bergetar. “Misi kita di sini sudah selesai. Jangan mempertaruhkan dirimu lebih jauh. Pulanglah ke Batavia bersamaku. Kita bisa melanjutkan perjuangan dari sana.”

Permohonannya, kata “bersamaku” yang terucap dengan begitu tulus, terasa seperti sebuah tusukan yang manis di hati Dirgantara. Ia merasakan dorongan yang begitu kuat untuk menyetujuinya, untuk melarikan diri dari semua ini, untuk kembali ke keamanan relatif di kantor redaksi yang berbau tinta, dan mungkin, hanya mungkin, untuk menjajaki perasaan yang tumbuh di antara mereka.

Namun, ia adalah seorang penjaga. Ia adalah seorang prajurit dalam sebuah perang yang membentang melintasi abad. Dan seorang prajurit tidak pernah meninggalkan medan perang hanya karena pertempuran pertama telah dimenangkan. Ia menangkupkan tangannya di atas tangan Sariyah yang masih mencengkeram lengannya. Kehangatan kulitnya terasa begitu menenangkan, begitu berbahaya.

“Ini lebih dari sekadar Budi Utomo, Nyi,” katanya lembut, matanya menatap lurus ke dalam mata Sariyah, mencoba membuatnya mengerti tanpa bisa mengatakan yang sebenarnya. “Ini adalah pertarungan antara dua visi untuk masa depan. Jika aku tidak menghadapi lawanku sekarang, bayangannya akan terus mengikuti kita ke mana pun kita pergi.”

Ia melepaskan tangan Sariyah dengan perlahan. “Tunggulah aku di sini. Siapkan semuanya. Kita akan naik kereta malam ini, apa pun yang terjadi.”

Tidak ada janji bahwa ia akan baik baik saja. Tidak ada kata kata kosong yang menenangkan. Hanya ada sebuah perintah yang diucapkan dengan keyakinan seorang prajurit, dan sebuah tatapan yang mengandung perpisahan yang tak terucap.

Kediaman tempat pertemuan itu diadakan adalah sebuah istana kecil bergaya Eropa, dikelilingi oleh taman yang terawat sempurna. Bunga bunga flamboyan berwarna merah darah bermekaran dengan anggun, dan suara air mancur yang gemericik menciptakan ilusi kedamaian yang sempurna. Kontras antara keindahan yang tenang itu dan ketegangan yang mematikan di udara terasa begitu menyesakkan.

Dirgantara tidak diantar ke ruang tamu. Ia digiring melewati koridor koridor yang sejuk menuju sebuah paviliun di belakang taman, sebuah rumah kaca yang dipenuhi oleh tanaman tanaman anggrek langka. Di tengah ruangan yang lembab dan beraroma manis itu, di samping sebuah meja teh dari porselen, Silas van der Lijn telah menunggunya. Sendirian.

Ia mengenakan pakaian berwarna gelap, membuatnya tampak seperti bayangan di antara warna warni bunga anggrek. Senyumnya yang biasanya menghiasi wajahnya telah lenyap. Yang tersisa hanyalah ketenangan dingin seekor predator.

Lihat selengkapnya