Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #23

Kemenangan Pahit dan Janji di Senja Hari

Dirgantara berjalan kembali ke losmen di tengah senja yang mulai turun. Langit Yogyakarta berwarna jingga dan ungu, sebuah lukisan alam yang indah dan damai. Namun, Dirgantara tidak melihatnya. Di matanya, warna senja itu tampak seperti warna memar, warna dari sebuah luka yang baru saja ditorehkan. Kemenangan psikologisnya atas Silas di dalam rumah kaca yang indah itu tidak meninggalkan rasa puas, hanya rasa pahit seperti abu di dalam mulutnya. Ia telah menatap mata lawannya, dan ia telah melihat di sana bukan hanya kebencian seorang agen terhadap targetnya, melainkan kebencian seorang manusia terhadap manusia lainnya. Perang ini telah berubah menjadi sesuatu yang personal.

Ia tiba di losmen saat cahaya terakhir matahari menghilang. Ia menemukan Sariyah persis di tempat ia meninggalkannya, duduk di dekat jendela, namun kini ia tidak lagi diam. Ia sedang menulis dengan kecepatan yang luar biasa di dalam buku catatannya, seolah mencoba mengubah kegelisahannya menjadi kata-kata. Saat mendengar langkah kaki Dirgantara, ia mengangkat kepalanya, dan seluruh ketegangan di dunia seolah berkumpul di matanya yang bertanya.

“Bagaimana?” bisiknya.

Dirgantara tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke kendi air dan menuangkan segelas air, meminumnya dalam sekali teguk untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Ia bisa merasakan tatapan Sariyah yang membakar punggungnya, menunggunya.

“Dia tahu,” kata Dirgantara akhirnya, suaranya tenang, namun ketenangan itu terasa seperti lapisan es tipis di atas jurang yang dalam. “Dia mungkin tidak tahu detailnya. Tapi dia tahu aku bukan sekadar Raden Mas dari Yogyakarta. Dia tahu ada kekuatan lain yang bermain.”

Ia berbalik menghadap Sariyah. “Dan dia telah membuat ancamannya dengan sangat jelas. Dia tidak akan lagi menyerang Budi Utomo secara terbuka. Dia akan menyerang orang orang di sekelilingnya. Dia akan menyerang Soetomo, Tirto … dan dia akan menyerangmu.”

Sariyah menarik napas tajam. Mendengar ancaman itu diucapkan dengan begitu gamblang membuatnya terasa nyata, dingin, dan menusuk. Ini bukan lagi tentang perang ideologi yang luhur. Ini adalah tentang sebilah pisau di gang yang gelap.

“Lalu … apa yang kau katakan padanya?” tanya Sariyah, suaranya bergetar.

Dirgantara menatap mata perempuan itu, dan ia membuat sebuah pilihan. Ia tidak bisa menceritakan tentang Lembaga atau tentang perjalanan waktu. Tapi ia bisa membiarkannya melihat amarah di dalam hatinya.

“Aku memberinya sebuah jaminan,” kata Dirgantara, matanya berkilat dengan cahaya dingin yang sama seperti yang dilihat Silas. “Sebuah jaminan bahwa jika sehelai rambut pun jatuh dari kepalamu, atau dari kepala teman teman kita, aku akan meruntuhkan seluruh dunianya. Aku membuatnya mengerti bahwa ada harga yang harus ia bayar, sebuah harga yang bahkan ia dan para pelindungnya tidak akan sanggup membayarnya.”

Sariyah menatapnya dengan mulut sedikit terbuka. Ia melihat di hadapannya bukan lagi seorang bangsawan terpelajar atau seorang ahli strategi yang brilian. Ia melihat seorang pelindung. Seorang prajurit yang baru saja kembali dari garis depan sebuah pertempuran tak terlihat, membawa serta dinginnya kematian di matanya. Perasaan takut yang mencekam di dalam dirinya kini bercampur dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang hangat dan kuat: sebuah rasa aman yang absolut saat berada di dekat lelaki ini.

“Kita harus pergi,” kata Dirgantara, memecah keheningan. “Malam ini juga. Yogyakarta tidak lagi aman untuk kita.”

Lihat selengkapnya