Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #24

Belati di Gang Gelap

Batavia tidak menyambut mereka dengan tangan terbuka. Kota itu menyambut mereka dengan keheningan yang mengancam. Gencatan senjata tak resmi yang lahir dari duel psikologis antara Dirgantara dan Silas terasa seperti udara tipis di puncak gunung; satu tarikan napas yang salah, dan segalanya akan runtuh ke dalam jurang. Mereka kembali ke kantor redaksi Medan Prijaji, dan tempat yang seharusnya terasa seperti rumah kini terasa seperti sebuah benteng yang terkepung.

Tirto Adhi Soerjo, setelah mendengar laporan lengkap tentang pertemuan Dirgantara dengan Silas, tidak lagi tersenyum. Api kemenangan dari Yogyakarta telah padam, digantikan oleh bara amarah yang dingin dan tekad yang mengeras. Ia menatap kedua rekannya yang lebih muda, melihat lingkaran hitam di bawah mata mereka, dan merasakan gelombang tanggung jawab yang berat. Ia telah menyeret mereka ke dalam perang ini. Kini, perang itu telah datang untuk menagih darah.

“Jadi, anjing itu telah melepaskan topengnya,” desis Tirto, suaranya serak. Ia menyalakan sebatang kretek, tangannya sedikit gemetar, bukan karena takut, melainkan karena amarah. “Dia tidak akan lagi bermain dengan kata kata. Dia akan bermain dengan pisau.”

“Dia tidak akan menyerang kita secara langsung,” kata Dirgantara, matanya memindai setiap sudut ruangan, seolah mencari bayangan yang tidak seharusnya ada. “Itu akan terlalu kentara. Dia akan menggunakan orang bayaran, para bajingan yang bisa dibeli dengan beberapa gulden. Dia akan membuatnya terlihat seperti perampokan biasa yang berakhir tragis.”

Sariyah duduk diam di sudut, memeluk buku catatan yang diberikan Dirgantara. Buku itu terasa seperti satu satunya benda padat di dunia yang tiba tiba terasa begitu rapuh. Setiap derit pintu, setiap suara langkah kaki di jalanan luar, membuatnya tersentak. Ketakutan itu adalah sesuatu yang baru baginya. Ia tidak takut mati demi keyakinannya. Tetapi ia takut kehilangan orang orang yang kini menjadi pusat dari dunianya.

Hari hari berikutnya berlalu dalam ketegangan yang menyiksa. Mereka bekerja seperti biasa, menyiapkan edisi terbaru Medan Prijaji, namun setiap tindakan terasa sarat akan makna terakhir. Tirto menulis tajuk rencananya dengan ketajaman yang lebih menusuk dari biasanya. Sariyah menyunting setiap kalimat seolah itu adalah wasiatnya. Dirgantara tidak banyak bicara. Ia menjadi bayangan pelindung mereka, matanya selalu waspada, telinganya selalu mendengar, setiap otot di tubuhnya tegang, siap untuk bereaksi.

Ketenangan yang menipu itu pecah pada malam ketiga setelah mereka kembali. Malam itu, seperti malam malam lainnya, Tirto bersiap untuk pulang. Ia adalah seorang lelaki yang terikat oleh kebiasaan, dan tidak ada ancaman apa pun yang akan mengubah rutinitasnya.

“Sudah larut,” katanya, mengenakan mantelnya yang sudah usang. “Kalian berdua tinggallah di sini malam ini. Kunci semua pintu.”

Saat ia melangkah menuju pintu, Dirgantara bangkit dari kursinya. “Biar kuantar, Kangmas,” katanya, nadanya santai namun mengandung perintah yang tak bisa ditolak.

Tirto berhenti, menatap Dirgantara dengan tatapan yang tajam. Ia bukanlah orang bodoh. Ia melihat kewaspadaan yang tidak wajar di mata pemuda itu. Ia melihat bagaimana Dirgantara selalu memposisikan dirinya di antara mereka dan pintu, bagaimana tatapannya selalu menyapu jendela.

“Aku bukan anak kecil yang butuh pengawalan, Suryo,” kata Tirto, mencoba terdengar kesal, namun ada nada terima kasih dalam suaranya.

“Anggap saja aku ingin menghirup udara malam,” balas Dirgantara. “Udara di kantor ini mulai terasa menyesakkan.”

Sariyah maju, hatinya berdebar kencang. Ia menatap Dirgantara, sebuah permohonan bisu terpancar di matanya. Jangan pergi. Dirgantara membalas tatapannya, dan untuk sesaat, ia membiarkan Sariyah melihat apa yang ada di balik topeng tenangnya: sebuah janji. Aku akan menjaganya.

Mereka berjalan menyusuri jalanan Batavia yang mulai lengang. Udara malam terasa sejuk, dan cahaya dari lampu lampu gas menciptakan bayangan bayangan panjang yang menari seperti hantu. Mereka tidak banyak bicara. Keheningan di antara mereka dipenuhi oleh hal hal yang tak terucapkan. Tirto, dengan segala keberaniannya, merasakan hawa dingin di tengkuknya. Dirgantara, dengan inderanya yang disempurnakan, merasakan kehadiran mereka jauh sebelum mata biasa bisa melihatnya.

Implannya mendeteksi anomali. Detak jantung yang sedikit lebih cepat dari normal di sebuah gang gelap di depan. Pola pernapasan yang tertahan. Tiga titik panas tubuh yang diam, menunggu.

Rumah Tirto berada di sebuah jalan kecil yang tidak terlalu terang. Untuk mencapainya, mereka harus melewati sebuah gang sempit yang diapit oleh dinding tinggi dari gudang-gudang tua. Itu adalah sebuah jebakan yang sempurna.

Saat mereka mendekati mulut gang, Dirgantara berhenti tiba tiba, memegang lengan Tirto dengan cengkeraman sekuat baja. “Tunggu,” bisiknya.

“Ada apa?” tanya Tirto, jantungnya mulai berdebar.

Dirgantara tidak menjawab. Ia memejamkan matanya sejenak, membiarkan implannya memproses data. Tiga target. Dua di dalam gang, satu menunggu di ujung yang lain untuk memotong jalan keluar. Berbekal pisau dan golok. Amatir, tapi mematikan dalam serangan mendadak.

Lihat selengkapnya