Pintu besi kantor redaksi Medan Prijaji terbuka dengan kasar, lalu dibanting dan dikunci dari dalam. Suara grendel yang disorong ke tempatnya terdengar seperti vonis penjara. Sariyah, yang sejak tadi mondar mandir dengan cemas, langsung berdiri, jantungnya serasa berhenti berdetak.
Di hadapannya berdiri dua lelaki yang baru saja kembali dari neraka. Tirto Adhi Soerjo pucat pasi, matanya menatap kosong seolah jiwanya masih tertinggal di gang gelap itu. Di sampingnya, Dirgantara berdiri tegak, namun ketenangan di wajahnya adalah ketenangan sebuah badai yang baru saja reda, menyisakan kehancuran di belakangnya. Tidak ada darah di tubuhnya, namun Sariyah bisa merasakannya, aura kekerasan yang dingin dan mematikan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Apa yang terjadi?” bisik Sariyah, suaranya bergetar.
Tidak ada yang perlu menjawab. Tirto berjalan melewati Sariyah tanpa melihatnya, menuju kursinya yang ada di pojok, dan duduk dengan berat seolah tubuhnya baru saja ditambatkan dengan beban besi yang tak terlihat.
Keheningan yang menyelimuti ruangan itu berbeda dari keheningan-keheningan sebelumnya. Ini bukan keheningan karena putus asa atau lelah. Ini adalah keheningan yang lahir dari sebuah wahyu yang mengerikan, dari sebuah kebenaran yang terlalu besar untuk bisa diproses oleh pikiran biasa.
Sariyah bergegas mengambil kain basah dan kotak obat. Dengan tangan yang gemetar, ia mulai membersihkan luka gores di pelipis Tirto, sebuah luka kecil yang pasti didapat saat Dirgantara mendorongnya jatuh. Tirto tidak bereaksi, seolah tidak merasakan sentuhan itu. Pikirannya berada di tempat lain.
Akhirnya, Tirto berbicara. Ia tidak menatap Dirgantara. Ia menatap tangannya sendiri yang masih belum berhenti gemetar.
“Dia …,” suaranya serak dan rendah. “Dia bukan manusia.”
Sariyah berhenti, menatap mentornya dengan bingung, lalu menatap Dirgantara yang masih berdiri diam di dekat pintu seperti seorang penjaga.
Tirto mulai menceritakan apa yang terjadi. Ia menceritakannya dengan terbata bata, seperti seorang lelaki yang mencoba melukiskan sebuah mimpi buruk. Ia menceritakan tentang tiga penyerang, tentang ayunan golok yang seharusnya memenggal kepalanya, dan tentang bagaimana Dirgantara bergerak. Ia mencoba mendeskripsikan kecepatan yang tidak masuk akal itu, suara tulang yang patah, efisiensi yang brutal, dan kekosongan yang dingin di mata Dirgantara saat ia melumpuhkan tiga lelaki dewasa seolah mereka hanyalah boneka kain.
Saat ceritanya selesai, Sariyah menatap Dirgantara, matanya dipenuhi campuran emosi yang saling bertentangan. Ada kelegaan yang luar biasa karena kedua lelaki itu selamat. Ada kengerian yang mencekam membayangkan bahaya yang baru saja mereka hadapi. Dan ada sesuatu yang baru: sebuah rasa gentar. Lelaki yang selama ini ia kagumi karena kecerdasannya, lelaki yang hatinya terluka dan membuatnya merasa terhubung, ternyata menyimpan sebuah sisi lain. Sisi yang gelap, kuno, dan sangat berbahaya. Pelindungnya adalah seorang predator.
“Aku tidak akan bertanya siapa kau,” kata Tirto, akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap lurus ke mata Dirgantara. Rasa syok di matanya perlahan digantikan oleh sebuah pemahaman yang berat. “Karena aku rasa, otakku yang sederhana ini tidak akan sanggup memahami jawabannya.”
Ia menarik napas dalam. “Tapi aku harus tahu … apa kau Suryo, Kangmas Suryo?”
Pertanyaan itu adalah sebuah pisau bedah yang mengiris langsung ke jantung rahasia Dirgantara. Persona Raden Mas Suryo Adiningrat telah hancur berkeping keping di gang gelap tadi. Di hadapan Tirto dan Sariyah, ia tidak bisa lagi berbohong. Namun ia juga tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.
Ia berjalan mendekati meja mereka, menarik sebuah kursi, dan duduk. Kelelahan yang luar biasa, kelelahan dari ratusan tahun, tiba tiba terasa begitu berat di pundaknya.
“Aku tidak bisa memberimu nama yang kau cari, Kangmas,” kata Dirgantara pelan. “Tapi aku akan memberimu sebuah kebenaran.”
Ia mencondongkan tubuhnya, suaranya nyaris seperti bisikan, seolah dinding dinding itu sendiri sedang mendengarkan. “Anggap saja aku adalah bagian dari sebuah keluarga yang sangat tua. Sebuah keluarga yang tidak terikat oleh darah, melainkan oleh sebuah sumpah. Sumpah untuk menjaga sebuah keseimbangan.”