Fajar yang menyingsing di atas Batavia terasa berbeda bagi Dirgantara. Biasanya, fajar membawa serta janji akan sebuah hari yang baru, sebuah lembaran baru yang akan diisi dengan perjuangan dan strategi. Namun fajar kali ini terasa hampa. Saat ia berdiri sendirian di ambang pintu kantor Medan Prijaji yang kini kosong melompong, menyaksikan jejak roda pedati yang membawa Tirto dan Sariyah menghilang ditelan hiruk pikuk pagi, ia merasakan sebuah kesunyian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya di zaman ini.
Ia telah berhasil. Ia telah memindahkan pion pionnya yang paling berharga dari papan catur, menempatkan mereka di luar jangkauan musuh. Ia telah melindungi mereka. Namun dalam prosesnya, ia telah mencabut jantung dari perjuangannya sendiri. Kantor itu, yang tadinya berdenyut dengan energi dari perdebatan sengit dan tawa yang sesekali terdengar, kini hanyalah sebuah ruangan kosong yang berbau debu dan kenangan. Benteng kertas mereka telah menjadi makam.
Kehampaan itu adalah sebuah kemewahan yang tidak dimiliki oleh kedua kawannya. Perjalanan mereka menuju Buitenzorg adalah sebuah perjalanan bisu. Mereka duduk berdampingan di dalam pedati yang tertutup dan berguncang, masing masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Tirto, seorang lelaki yang seluruh hidupnya adalah tentang berada di pusat keramaian, tentang menyuarakan kebenaran di tengah pasar, kini sedang dibawa menuju ke pengasingan. Sariyah, seorang perempuan yang dunianya adalah kata kata dan ide, kini harus melarikan diri dari sebuah ancaman fisik yang brutal, hatinya terbelah antara kelegaan karena selamat dan kecemasan yang luar biasa akan nasib lelaki yang mereka tinggalkan.
Tempat persembunyian mereka adalah sebuah anomali. Sebuah vila kecil bergaya Eropa yang tersembunyi di tengah perbukitan perkebunan teh, jauh dari jalan utama. Udara di sana sejuk dan bersih, dipenuhi oleh aroma wangi dari pucuk pucuk teh dan tanah basah. Suara teriakan pedagang Batavia digantikan oleh siulan burung dan desau angin yang menyapu lereng bukit. Itu adalah sebuah surga kecil. Sebuah penjara yang indah.
Hari-hari pertama di sana terasa menyiksa. Tirto berjalan mondar mandir di beranda kayu seperti seekor harimau yang terperangkap, tatapannya menyapu lautan hijau perkebunan teh seolah mencari musuh yang tidak ada. “Aku merasa tidak berguna di sini,” katanya pada suatu sore, suaranya serak. “Dirgantara di luar sana sedang bertarung sendirian, dan kita di sini, bersembunyi seperti pengecut, menikmati teh dan udara sejuk.”
“Kita tidak bersembunyi,” sahut Sariyah dengan lembut, meskipun ia merasakan kegelisahan yang sama. Ia sedang duduk di sebuah kursi rotan, buku catatan Dirgantara tergeletak tertutup di pangkuannya. Ia belum berani membukanya. “Kita sedang menyusun kembali kekuatan. Inilah yang dia inginkan. Dia tidak akan bisa bertarung dengan bebas jika dia harus terus menerus mengkhawatirkan keselamatan kita.”
“Dia …” Tirto berhenti, menatap Sariyah. “Setelah melihat apa yang ia lakukan di gang itu … terkadang aku bertanya-tanya apakah dia butuh kita.”