Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #27

Gema dari Pengasingan

Kesendirian memiliki suaranya sendiri. Di dalam apartemen kecil di atas toko buku di Kwitang, suara itu adalah desis pelan dari lampu gas, derit papan lantai saat ia berjalan mondar mandir, dan gema dari keheningan yang ditinggalkan oleh tawa Sariyah dan gerutuan Tirto.

Bagi Dirgantara, keheningan ini adalah sebuah senjata sekaligus sebuah siksaan. Ia memaksanya untuk fokus, mempertajam inderanya hingga ia bisa mendengar detak jantung kota Batavia di luar jendelanya. Namun, di saat saat yang paling sunyi, di antara tengah malam dan fajar, keheningan itu akan berbalik menyerangnya, mengingatkannya pada semua yang telah ia tinggalkan, bukan hanya di zaman ini, tetapi di semua zaman yang telah ia lewati.

Perang barunya adalah perang yang sunyi. Tidak ada lagi perdebatan strategis hingga larut malam. Yang ada hanyalah peta Batavia yang terbentang di atas meja, ditandai dengan jarum jarum merah, dan laporan laporan intelijen dari Heer van de Berg yang diselundupkan kepadanya dalam gulungan surat kabar lama. Hasil dari serangannya di pelabuhan mulai terasa.

Gema pertama datang dalam bentuk sebuah berita kecil di koran Bataviaasch Nieuwsblad, melaporkan tentang sebuah “keributan internal” di antara para kuli di salah satu gudang di Tanjung Priok, yang berujung pada penangkapan beberapa orang atas tuduhan pencurian.

Dirgantara tahu apa arti sesungguhnya dari berita itu. Benih perpecahan yang ia tanam telah bertunas. Laporan van de Berg beberapa hari kemudian mengonfirmasinya. Penyelidikan PID yang dipicu oleh telegraf anonimnya, ditambah dengan manifes palsu yang ia ciptakan, telah menimbulkan kekacauan total di dalam jaringan penyelundupan Silas. Para letnan saling menuduh, mencari pengkhianat di antara mereka sendiri. Aliran dana haram yang menjadi bahan bakar bagi operasi rahasia Silas kini tersumbat, jika tidak terputus sama sekali. Silas kini sibuk memadamkan api di rumahnya sendiri, terlalu sibuk untuk menyadari bahwa sang pembakar sedang merencanakan kebakaran berikutnya.

Kemenangan kecil itu tidak membawa kelegaan bagi Dirgantara, hanya sebuah kepuasan yang dingin. Ia adalah seorang ahli bedah yang sedang mengamputasi anggota tubuh lawannya, dan tidak ada kegembiraan dalam pekerjaan seperti itu, hanya sebuah kebutuhan yang brutal. Saat ia duduk sendirian di apartemennya yang remang, menatap ke arah peta, ia seringkali tanpa sadar meraih sebuah cangkir teh kosong, seolah mengharapkan Sariyah akan muncul dari sudut ruangan untuk mengisinya, dengan sebuah komentar tajam atau sebuah pertanyaan cerdas di bibirnya. Kehadiran perempuan itu yang kini tiada terasa lebih nyata daripada kehadiran benda benda di sekelilingnya.

Puluhan kilometer jauhnya, di dalam sangkar emas mereka di Buitenzorg, kegelisahan yang sama juga menggerogoti Tirto dan Sariyah. Vila itu indah, udaranya sejuk, makanannya selalu tersedia. Namun, kenyamanan itu terasa seperti sebuah penghinaan. Setiap pagi, Sariyah akan terbangun dengan jantung berdebar, pikirannya langsung melayang ke Batavia, bertanya tanya apakah Dirgantara masih hidup, apakah ia sendirian, apakah ia terluka. Kecemasan itu adalah sebuah api yang membakar di bawah permukaan ketenangannya, dan satu satunya cara untuk meredakannya adalah dengan menuangkannya ke atas kertas.

“Sudah cukup kita beristirahat,” kata Tirto pada pagi ketiga, suaranya serak karena terlalu lama diam. “Jika kita tidak bisa bertarung di sisinya, maka kita akan memastikan seluruh Hindia mendengar gema dari pertarungannya.”

Malam itu, di tengah keheningan perbukitan yang hanya dipecah oleh suara jangkrik, sebuah suara yang tidak pada tempatnya mulai terdengar dari dalam vila kecil itu. Suara “tak tak tak” dari mesin tik, diikuti oleh derit ritmis dari engkol mesin stensil. Tirto dan Sariyah telah kembali bekerja. Mereka tidak lagi memiliki kemewahan berupa jaringan informan yang luas atau berita berita terkini. Mereka kini harus bertarung dengan senjata yang tersisa: ide dan sindiran.

Lihat selengkapnya