Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #28

Burung di Tengah Badai

Batavia di malam hari adalah seekor binatang yang berbeda. Di bawah selubung kegelapan, di luar jalanan utama yang diterangi lampu gas, kota itu berubah menjadi sebuah labirin gang gang sempit yang berbau rempah, comberan, dan rahasia. Bagi Dirgantara, labirin ini telah menjadi rumah barunya. Ia tidak lagi tinggal di satu tempat. Ia telah menjadi hantu, seorang pengembara di dalam kota yang memburunya.

Perburuan itu terasa di mana mana. Jaring yang ditebar oleh Silas van der Lijn begitu luas dan teliti. Dirgantara merasakannya setiap saat. Suatu pagi, saat ia duduk membungkuk di sebuah kedai kopi kumuh di dekat pelabuhan, menyamar sebagai seorang nelayan yang sedang beristirahat, ia mendengar percakapan di meja sebelah. Dua lelaki berwajah keras, yang jelas merupakan agen PID berpakaian preman, sedang berbicara dengan suara rendah.

“Tidak ada jejak sama sekali,” kata salah satu dari mereka. “Orang ini seperti hantu. Tuan Silas mulai tidak sabar.”

“Dia pasti dibantu oleh jaringan yang kuat,” sahut yang lain. “Terus tekan para informan. Tawarkan imbalan dua kali lipat. Aku ingin setiap tikus di kota ini menjadi mata kita.”

Dirgantara menghabiskan kopinya yang pahit dan segera pergi, pesan itu begitu jelas. Setiap hari adalah sebuah tarian dengan kematian. Ia belajar membaca ritme kota itu, merasakan kapan sebuah jalanan terlalu sunyi, kapan tatapan seorang polisi terlalu lama tertuju padanya. Implannya bekerja tanpa henti, memproses data, menganalisis pola pergerakan patroli, mengubah setiap detail kecil menjadi sebuah peta kelangsungan hidup.

Namun, ketegangan yang terus menerus itu mulai menggerogotinya. Bukan secara fisik. Tubuhnya yang disempurnakan bisa menahan kurang tidur dan gizi buruk. Siksaan itu terjadi di dalam pikirannya. Kesendirian itu begitu absolut, begitu memekakkan. Di tengah keramaian pasar, dikelilingi oleh ribuan orang, ia merasa seperti satu satunya manusia di planet ini. Tidak ada lagi Tirto yang bisa ia ajak berdebat. Tidak ada lagi Sariyah yang bisa ia lihat senyumnya saat sebuah ide cemerlang muncul. Yang ada hanyalah keheningan di dalam kepalanya, diisi oleh suara langkah kakinya sendiri dan detak jantungnya yang waspada.

Momen paling berbahaya datang pada suatu sore yang terik di Pasar Baru. Itu adalah salah satu titik kontak darurat yang telah diatur oleh Gema. Dirgantara, yang menyamar sebagai seorang kuli panggul dengan sebuah handuk kecil lusuh tersampir di bahu, berjalan dengan langkah berat dan sedikit membungkuk di antara kerumunan, seolah sedang mencari muatan. Kontaknya adalah seorang perempuan tua penjual kembang, yang seharusnya menyelipkan sebuah pesan di antara bunga kenanga yang ia beli.

Saat ia mendekati kios bunga itu, ia merasakannya. Sebuah perubahan di atmosfer. Beberapa pedagang di dekatnya tiba tiba menjadi terlalu sibuk merapikan dagangan mereka, menghindari kontak mata. Seekor anjing kurus yang biasanya tertidur di bawah meja tiba tiba merengek dan lari. Lalu ia melihatnya: seorang lelaki di seberang jalan, berpura pura membaca koran, namun matanya yang tajam mengamati setiap orang yang mendekati kios bunga itu. Di ujung lain, dua polisi pribumi berseragam mulai berjalan perlahan ke arahnya, tangan mereka berada di dekat gagang pistol mereka.

Jebakan itu telah dipasang. Entah bagaimana, kontak itu telah bocor.

Dirgantara tidak panik. Amarah yang dingin dan terkendali langsung mengambil alih. Ia tidak berbalik dan lari. Itu hanya akan mengonfirmasi kecurigaan mereka. Sebaliknya, ia terus berjalan, melewati kios bunga itu tanpa meliriknya sedikit pun. Ia terus berjalan dengan langkah yang sama, langkah seorang kuli yang lelah mencari muatan berikutnya di penghujung hari.

Ia mendengar langkah kaki kedua polisi itu semakin cepat di belakangnya. Mereka tidak akan menembak di tengah keramaian. Mereka akan mencoba menyergapnya saat ia berbelok ke jalan yang lebih sepi.

Di depannya ada sebuah persimpangan. Ke kanan adalah jalan besar yang ramai. Ke kiri adalah sebuah gang sempit yang menuju ke pemukiman padat. Jalan besar adalah pilihan yang logis, tempat ia bisa melebur dalam kerumunan. Justru karena itulah ia memilih jalan ke kiri.

Ia berbelok tajam ke dalam gang sempit itu. Seperti yang ia duga, kedua polisi itu langsung berlari mengejarnya.

“Hei, kau kuli! Berhenti!” sebuah teriakan menggema di antara dinding dinding bata yang kotor.

Gang itu adalah sebuah labirin. Dirgantara bergerak melewatinya dengan pemahaman yang mendalam tentang arsitektur kota itu. Ia melompati tumpukan peti, berbelok di tikungan yang mustahil, menggunakan setiap bayangan dan setiap pintu yang terbuka sebagai tempat berlindung sesaat. Ia tidak mencoba lari menjauh; ia justru membiarkan para pengejarnya terus melihatnya sekilas, menarik mereka lebih dalam dan lebih dalam lagi ke jantung labirin, memisahkan mereka dari pasukan pendukung mereka.

Lihat selengkapnya