Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #29

Api Terakhir di Jantung Kegelapan

Di dalam kesunyian pekuburan Tionghoa, di antara nisan-nisan bisu yang menjadi saksi, elang itu telah memutuskan untuk menukik. Tekad Dirgantara mengeras menjadi es yang tajam. Berlari telah memberinya waktu, tetapi tidak akan pernah memberinya kemenangan. Setiap hari yang ia habiskan untuk bersembunyi adalah hari di mana Silas bisa menyusun kembali kekuatannya, menenun jaring yang baru dan lebih mematikan. Pesan dari Tirto dan Sariyah, gema dari pengasingan itu, bukan hanya memberinya kekuatan; pesan itu memberinya sebuah kejelasan. Ia tidak bisa memenangkan perang ini dengan cara bertahan. Ia harus mengakhirinya.

Rencananya adalah sebuah kegilaan yang lahir dari keputusasaan yang dingin. Ia tidak akan membunuh Silas. Membunuh seorang pejabat Belanda hanya akan memicu pembalasan brutal terhadap seluruh pergerakan pribumi. Itu akan memberikan pemerintah alasan yang mereka butuhkan untuk menghancurkan Budi Utomo dan semua organisasi lainnya. Ia juga tidak akan menghancurkan markas besar PID secara fisik. Itu akan menarik perhatian yang terlalu besar. Rencananya jauh lebih halus, dan karena itu, jauh lebih kejam. Ia akan melakukan sesuatu yang lebih buruk daripada membunuh Silas; ia akan membutakannya. Ia akan merenggut senjata terbesar lawannya: informasi.

Markas besar PID terletak di sebuah gedung yang tampak biasa saja di kawasan Weltevreden, terjepit di antara kantor-kantor pemerintah lainnya. Tidak ada tanda-tanda yang mencolok, tidak ada penjagaan militer yang berlebihan di luarnya. Kekuatannya tidak terletak pada dindingnya yang tebal, melainkan pada apa yang ada di dalamnya: arsip-arsip yang tak ternilai harganya. Di dalam lemari-lemari baja di gedung itu tersimpan setiap rahasia kelam dari Hindia Belanda. Nama setiap informan, catatan setiap interogasi, laporan setiap pengawasan, daftar setiap pribumi yang dianggap “berbahaya”. Itu adalah otak dari sistem saraf kolonial, jantung dari kegelapan itu sendiri. Dan Dirgantara akan mencabut jantung itu.

Selama dua hari berikutnya, ia tidak tidur. Ia bergerak di dalam bayangan, mengamati gedung itu dari berbagai sudut. Ia menyamar sebagai tukang sapu jalanan, sebagai penjual minuman, menyerap setiap detail. Jadwal pergantian penjaga, rute patroli, lokasi jendela yang paling lemah, bahkan kebiasaan para petugas yang sering keluar untuk merokok di gang belakang. Implannya membangun sebuah model tiga dimensi yang sempurna dari gedung itu di dalam benaknya.

Ia menghubungi Heer van de Berg melalui titik kontak darurat terakhir. Pesannya singkat dan tidak bisa ditawar. “Aku butuh pengalih perhatian terbesar yang pernah kau ciptakan,” bisiknya pada kurir Gema. “Dua malam dari sekarang, tepat pukul dua pagi. Aku ingin setiap patroli polisi dan tentara di Batavia sibuk memadamkan api di tempat lain. Dan setelah itu, siapkan titik ekstraksi. Misi ini adalah misi terakhirku di sini.”

Malam penyerangan itu diselimuti oleh gerimis yang dingin, seolah langit Batavia sendiri sedang menahan napas. Dirgantara mengenakan pakaian serba hitam, wajahnya sebagian ditutupi oleh kain. Ia tidak lagi terlihat seperti seorang bangsawan atau seorang kuli. Ia terlihat seperti apa adanya: seorang prajurit dari zaman lain.

Tepat pukul dua pagi, saat kota itu berada di titik tidurnya yang paling lelap, sebuah ledakan dahsyat mengguncang bagian utara kota. Salah satu gudang amunisi utama di pelabuhan Tanjung Priok, yang entah bagaimana “secara tidak sengaja” terbakar, meledak dalam sebuah bola api raksasa yang menerangi langit malam. Sirene-sirene langsung meraung di seluruh penjuru kota, memecah keheningan. Setiap patroli, setiap tentara cadangan, semua ditarik ke arah kekacauan itu. Seperti yang diperkirakan Dirgantara, sarang ular itu kini ditinggalkan dengan penjagaan minimal.

Dirgantara tidak masuk melalui pintu atau jendela. Ia naik ke atap gedung di sebelahnya, dan dengan sebuah lompatan yang mustahil, ia menyeberangi celah sempit di antara kedua gedung, mendarat tanpa suara di atap markas PID. Ia membuka sebuah jendela atap yang telah ia tandai, yang kuncinya telah ia buka dari luar beberapa jam sebelumnya dengan seutas kawat tipis. Ia masuk ke dalam gedung itu seperti hantu yang merayap turun dari langit.

Bagian dalamnya sunyi dan berbau kertas tua. Koridor-koridornya yang remang remang terasa seperti pembuluh darah dari seekor binatang yang sedang tertidur. Dengan menggunakan peta mentalnya, ia bergerak dengan cepat dan senyap menuju tujuannya: ruang arsip pusat di lantai dasar.

Ia melumpuhkan tiga penjaga di sepanjang jalan. Semuanya dilakukan dalam keheningan total. Sebuah tekanan di leher, sebuah hantaman di titik saraf. Mereka jatuh pingsan tanpa pernah tahu apa yang menyerang mereka.

Ruang arsip itu dilindungi oleh sebuah pintu baja tebal dengan kunci kombinasi modern dari Eropa. Bagi Dirgantara, itu hanyalah sebuah teka-teki mekanis yang sederhana. Ia meletakkan telinganya di pintu, jari-jarinya yang sensitif memutar kenop kombinasi. Ia tidak mendengar suara ‘klik’. Ia merasakan getaran mikroskopis saat roda gigi di dalam mekanisme kunci itu jatuh ke tempatnya. Dalam waktu kurang dari satu menit, pintu baja yang berat itu terbuka tanpa suara.

Di dalamnya, ribuan rahasia tertidur di dalam laci laci logam yang tak terhitung jumlahnya. Inilah otaknya. Jantung kegelapan itu. Ia tidak punya waktu untuk membaca semuanya. Ia hanya punya satu tujuan.

Lihat selengkapnya