Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia

Kingdenie
Chapter #30

Api Revolusi

Kembali ke sarang persembunyiannya di tahun 2070 adalah sebuah kejatuhan. Bukan lagi sebuah lompatan yang direncanakan, melainkan sebuah tarikan paksa yang brutal. Dirgantara merasa seolah jiwanya yang lelah dicelupkan ke dalam es, lalu dilemparkan ke atas bara api. Kehangatan dari perpisahannya yang sunyi dengan Tirto dan Sariyah, gema dari janji di mata perempuan itu, semuanya direnggut dalam sekejap, digantikan oleh keheningan absolut dari stasiun kereta bawah tanah yang telah menjadi rumah sekaligus penjaranya.

Ia terwujud di tengah ruangan, jatuh berlutut di atas lantai beton yang dingin, tubuhnya gemetar hebat. Udara yang ia hirup terasa begitu steril, begitu mati, setelah berminggu-minggu menghirup udara Batavia yang penuh dengan kehidupan. Kesendirian di tempat ini kini terasa seratus kali lebih berat. Dulu, ia adalah seorang pertapa yang fokus pada misinya. Kini, ia adalah seorang buangan yang merindukan kehangatan dari sebuah aliansi yang baru saja ia tinggalkan.

Selama beberapa hari, ia tidak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk dalam kegelapan, membiarkan kelelahan dari tiga zaman yang berbeda akhirnya menuntut bayarannya. Ia tidur dalam siklus-siklus pendek yang penuh dengan mimpi buruk. Ia melihat wajah Ratna Laras yang menatapnya dengan kecewa saat Somba Opu terbakar. Ia melihat Zahira menangis di dermaga Palembang. Ia melihat Sariyah dan Tirto terperangkap dalam sebuah ruko yang terbakar. Gema-gema dari kegagalan dan perpisahannya menjadi hantu-hantu yang menari-nari di sudut matanya.

Kujang Pusaka Naga tergeletak di atas konsolnya, dingin dan tak bersuara. Ia bahkan tidak sanggup menyentuhnya. Benda itu terlalu penuh dengan kenangan, terlalu sarat akan sumpah yang ia rasa telah ia khianati berulang kali. Ia adalah sang penjaga keseimbangan yang telah menciptakan begitu banyak kekacauan.

Namun, di dalam diri setiap agen, bahkan yang paling hancur sekalipun, ada sebuah protokol terakhir yang tak bisa mati: rasa tanggung jawab. Pada hari kelima, didorong oleh sisa-sisa terakhir dari disiplin dirinya, ia memaksa dirinya untuk bangkit. Ia harus tahu. Ia harus melihat hasil dari permainannya di Batavia.

Dengan gerakan yang terasa lambat dan berat, ia menghubungkan dirinya ke konsol. Menyusup kembali ke jaringan Lembaga kini terasa seperti sebuah ritual yang menyakitkan, seperti dengan sengaja menyentuh sebuah luka yang belum sembuh. Peta holografik Nusantara berpendar di hadapannya, sebuah tawarikh hidup dari semua kemenangan dan kegagalannya.

Ia menahan napas. Titik yang menandai Budi Utomo di tahun 1908 kini bersinar dengan warna hijau yang stabil dan kokoh. Ia berhasil. Ia memperbesar data-data yang terlampir. Anggaran dasar organisasi itu kini secara resmi mencakup tujuan untuk “memajukan keharmonisan bagi seluruh penduduk Hindia, tanpa memandang suku atau agama”. Benih dari sebuah “Indonesia” yang beragam telah berhasil ditanam. Rencana utama Silas untuk menciptakan sebuah sangkar emas budaya telah gagal.

Sebuah gelombang kelegaan yang kecil dan rapuh menyentuh hatinya. Ia telah melindungi fajar kecil itu. Pengorbanan Tirto dan Sariyah tidak sia-sia.

Namun, saat ia menatap garis waktu yang lebih luas, kelegaan itu cepat sirna, digantikan oleh kegelisahan yang dingin. Keberhasilan Budi Utomo sebagai organisasi yang moderat namun inklusif telah mempercepat lahirnya organisasi-organisasi lain yang lebih radikal, seperti Sarekat Islam dan Indische Partij. Api nasionalisme yang ia bantu jaga kini mulai menyebar lebih cepat dari yang seharusnya. Di satu sisi, ini adalah hal yang baik. Namun di sisi lain, ia tahu bahwa api yang terlalu besar dan terlalu cepat akan memancing reaksi yang lebih keras dari pemerintah kolonial. Garis waktu kini stabil, namun menjadi jauh lebih tidak bisa diprediksi.

Saat ia sedang menganalisis data-data baru yang rumit itu, sebuah notifikasi sunyi muncul di sudut layarnya. Pesan terenkripsi dari Gema telah menunggunya. Ia membukanya dengan perasaan campur aduk. Itu adalah sebuah pesan video.

Wajah Daeng Ratu yang kini tampak lebih tua dan lebih cemas muncul di layar. Latar belakangnya bukan lagi ruangan organik yang aneh, melainkan sebuah tempat yang tampak seperti geladak kapal yang bergoyang, dengan suara angin dan ombak terdengar samar-samar.

“Kerja bagus di Batavia, Dirgantara,” kata perempuan itu, suaranya terdengar mendesak. “Fase 4 berhasil kita amankan. Kau telah memberi kami ruang bernapas yang sangat kami butuhkan.”

Lihat selengkapnya