Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #2

Selamat Datang di Neraka

Lompatan waktu ke tahun 1945 adalah sebuah pukulan yang meremukkan. Tak ada lagi jejak keanggunan, tak ada presisi yang menuntun arah. Yang tersisa hanyalah guncangan liar, seakan waktu sendiri merobek tubuh dan jiwa. Rasanya seperti dilemparkan ke dalam jantung sebuah bintang yang sedang meledak.

Dirgantara merasakan setiap atom di tubuhnya terkoyak, bukan oleh perjalanan melintasi abad, melainkan oleh intensitas emosi mentah dari zaman yang ia tuju. Ia merasakan gelombang kemarahan, harapan, ketakutan, dan keberanian yang begitu dahsyat dari jutaan jiwa yang sedang bergolak. Sebuah badai psikis yang nyaris meremukkan kesadarannya bahkan sebelum ia tiba.

Ia terwujud dengan sentakan yang brutal, muncul di tengah sebuah gang sempit yang berbau busuk di Surabaya. Ia jatuh berlutut di atas tanah becek yang bercampur sampah dan air comberan, terbatuk hebat, mencoba untuk bernapas di tengah udara yang terasa begitu padat dan berat.

Udara itu adalah campuran yang memuakkan dari bau mesiu yang menyengat, bau hangus dari gedung-gedung yang terbakar di kejauhan, dan aroma anyir darah yang samar-samar.

Di kejauhan, ia bisa mendengar gema pekikan yang terus menerus, "Merdeka!", diselingi oleh rentetan tembakan senjata otomatis yang sporadis.

Sebelum ia sempat memproses di mana ia berada, sebuah suara tajam dalam bahasa Inggris dengan aksen India terdengar dari ujung gang.

There! Another one! Don’t let him get away!” (Itu dia! Satu lagi! Jangan biarkan dia lolos!).

Dirgantara mendongak.

Di ujung gang yang diterangi oleh cahaya api dari jalan utama, berdiri tiga sosok prajurit Gurkha. Senapan Lee-Enfield mereka terangkat, bayonet mereka yang panjang berkilauan mengerikan.

Entah bagaimana, anomali temporal dari kedatangannya telah menarik perhatian mereka.

On your feet! Hands where I can see them!” (Bangun! Tunjukkan tanganmu!) teriak pemimpin patroli itu.

DOR!

Sebuah peluru melesat, menyerempet dinding bata tepat di samping kepala Dirgantara, mengirimkan serpihan-serpihan tajam yang menggores pipinya. Rasa sakit yang panas dan tajam langsung menyadarkannya sepenuhnya.

Ini bukan Batavia.

Ini bukan Gowa.

Ini adalah perang modern.

Selamat datang di neraka.

Ia adalah Elias Suryo, “Sang Hantu”.

Lihat selengkapnya