Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #3

Gema di Lorong Waktu

Waktu, bagi Dirgantara, telah menjadi sebuah sungai yang ganas dan tak terduga. Ia telah berenang melawannya, mencoba membelokkan arusnya, dan berulang kali nyaris tenggelam olehnya. Namun tidak ada satu pun lompatan, tidak ada satu pun anomali, yang bisa mempersiapkannya untuk momen ini.

Di hadapannya, di dalam markas darurat yang berbau mesiu dan tinta cetak, berdiri sesosok hantu. Makhluk dari masa lalu yang seharusnya telah menjadi debu puluhan tahun yang lalu.

Sariyah.

Kesadarannya yang baru saja kembali dari ambang kegelapan kini dihantam oleh gelombang syok yang lebih hebat daripada ledakan mortir mana pun. Pikirannya yang analitis, yang mampu memproses ribuan skenario pertempuran, kini lumpuh total. Implannya mengirimkan sinyal-sinyal data yang saling bertentangan. Data biometrik perempuan di hadapannya, struktur tulang, pola retina, bahkan intonasi suaranya menunjukkan kecocokan 99.8% dengan arsipnya tentang Sariyah dari tahun 1908.

Namun data kronologisnya menjerit bahwa itu mustahil. Perempuan ini seharusnya berusia hampir tujuh puluh tahun. Sosok di hadapannya ini, meskipun jelas lebih tua dan lebih keras, paling banter berusia akhir empat puluhan.

“Bagaimana …?” Itulah satu-satunya kata yang berhasil lolos dari bibirnya yang kering.

Perempuan yang tidak lain adalah Sariyah itu tersenyum, sebuah senyum yang sama yang pernah ia lihat di gerbong kereta api ke Yogyakarta. Senyum yang penuh dengan pemahaman dan sedikit kesedihan.

“Ceritanya panjang, Raden Mas,” katanya lembut, menggunakan panggilan lamanya yang terasa seperti gema dari dunia lain. “Dan kakimu sedang berdarah. Biarkan kami merawatmu dulu. Cerita bisa menunggu.”

Ia memberi isyarat pada Bung Kusan dan seorang perempuan muda lain yang ternyata adalah seorang mantri. Dengan gerakan yang cekatan dan profesional, mereka mulai bekerja. Mereka menggunting kain celana Dirgantara, membersihkan lukanya dengan alkohol yang terasa seperti api, dan membalutnya dengan perban yang bersih. Selama proses itu, Dirgantara nyaris tidak merasakan sakit fisik. Seluruh kesadarannya terpaku pada wajah Sariyah, mencoba mencari jawaban di dalam kerutan-kerutan di sudut matanya, mencoba memahami kemustahilan ini.

Setelah lukanya dirawat dan ia diberi segelas teh hangat yang manis, Sariyah akhirnya duduk di sebuah kursi reyot di hadapannya. Bung Kusan dan yang lainnya telah pergi, meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan kecil yang remang-remang itu.

“Kau pasti bingung,” kata Sariyah, memulai.

Dirgantara hanya bisa mengangguk.

“Setelah kau pergi dari Batavia,” lanjut Sariyah, matanya menerawang, seolah sedang membaca sebuah naskah yang telah lama ia hafal. “Kami melanjutkan perjuangan. Tirto, aku, dan yang lainnya. Medan Prijaji dan Warta Kilat terus menjadi duri bagi pemerintah kolonial.” Ia tersenyum tipis. “Kau akan bangga pada kami. Kami berhasil membongkar dua skandal korupsi lagi.”

“Lalu … apa yang terjadi?” tanya Dirgantara.

Senyum di wajah Sariyah memudar. “Silas van der Lijn bukanlah orang yang mudah menyerah. Saat perang kata-kata gagal, ia kembali pada kekerasan. Suatu malam, di tahun 1912, saat Tirto sedang berjalan pulang, ia disergap. Bukan oleh preman bayaran. Oleh agen-agen profesional. Mereka membunuhnya.”

Lihat selengkapnya