Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #4

Lensa di Tengah Badai

Kejutan dari reuni yang mustahil itu adalah sebuah kemewahan yang tidak bisa dinikmati lama oleh Dirgantara. Realitas perang tidak memberikan jeda untuk nostalgia atau air mata. Ruangan kecil di belakang bengkel percetakan itu dengan cepat berubah dari sebuah panggung reuni emosional menjadi pusat komando perang yang tegang. Peta Surabaya yang terbentang di dinding, yang dipenuhi oleh panji-panji dan catatan-catatan rahasia, kini menjadi satu-satunya dunia mereka.

Sariyah, perempuan yang sama yang pernah ia ajari tentang kekuatan propaganda, kini berdiri di hadapannya sebagai seorang komandan yang fasih menjelaskan situasi taktis.

“Jenderal Mallaby dan Brigade Infanteri India ke-49 telah menduduki titik-titik vital di utara kota,” katanya, jarinya menunjuk ke area pelabuhan dan Gedung Internatio. “Mereka mengklaim datang sebagai bagian dari AFNEI atau Allied Forces Netherlands East Indies untuk melucuti tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang. Sebuah kebohongan, tentu saja. Di belakang mereka, para pejabat NICA sudah siap untuk mengambil alih pemerintahan.”

Ia menatap Dirgantara, matanya yang tajam kini adalah mata seorang pemimpin yang telah terbiasa dengan pengkhianatan. “Masalahnya adalah, para komandan Tentara Keamanan Rakyat dan laskar-laskar pemuda kita … mereka terpecah. Sebagian, seperti Residen Soedirman, ingin menempuh jalur diplomasi. Sebagian lain, seperti Bung Tomo, percaya bahwa satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh para penjajah adalah bahasa peluru.”

“Dan Silas,” sela Dirgantara, “akan menari di antara kedua api itu, menuangkan minyak ke keduanya hingga seluruh kota ini terbakar.”

“Tepat,” sahut Sariyah. “Pembunuhan perwira intelijen Inggris itu adalah korek apinya. Ia ingin Inggris marah, dan ia ingin para pejuang kita yang dituduh menjadi semakin radikal. Ia ingin menciptakan sebuah insiden yang tak terkendali.”

Dirgantara menatap foto buram yang masih tergeletak di meja. Pantulan wajah Silas di permukaan meja yang mengilap seolah mengejeknya. Dan di sampingnya, ada satu bidak catur baru yang tidak ia kenali: sang jurnalis foto pemberani, Citra.

“Kita harus menemukannya,” kata Dirgantara, suaranya mantap. “Perempuan ini. Ia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat. Itu membuatnya menjadi saksi kunci. Dan di dalam permainan yang dimainkan oleh Silas, saksi kunci tidak akan dibiarkan hidup lama.”

“Aku setuju,” Sariyah mengangguk, wajahnya muram. “Kusan …”

Bung Kusan, yang sejak tadi berdiri diam di sudut, mengagumi interaksi antara dua legenda Gema yang baru saja bertemu, langsung siaga.

“Siap, Mbak Yu!”

“Kau yang paling mengenal jalanan di kota ini,” perintah Sariyah. “Kau dan Bung Hantu akan pergi mencarinya. Aku akan tetap di sini, mencoba untuk menahan Bung Tomo agar tidak melakukan siaran yang akan memperburuk keadaan.”

“Di mana kita harus mulai mencari?” tanya Dirgantara pada Kusan.

“Para jurnalis biasanya berkumpul di dua tempat,” jawab Kusan cepat, otaknya yang ensiklopedis langsung bekerja. “Di warung kopi dekat Jembatan Merah, atau di sebuah losmen kecil di dekat Lapangan Tugu Pahlawan yang menjadi markas darurat mereka. Citra … ia dikenal karena selalu berada di tempat yang paling berbahaya. Aku akan bertaruh ia berada di dekat Jembatan Merah, mencoba untuk mendapatkan gambar dari ketegangan antara pejuang kita dan pasukan Gurkha.”

Berjalan kembali ke jalanan Surabaya yang kini diselimuti oleh kegelapan malam adalah sebuah pengalaman yang sureal bagi Dirgantara. Beberapa jam yang lalu, ia adalah seorang buronan yang diseret keluar dari gang. Kini, ia berjalan sebagai seorang komandan bayangan, ditemani oleh seorang pemandu yang cerdas, dalam sebuah misi untuk menyelamatkan seorang saksi. Kakinya masih terasa sakit, namun adrenalin dan urgensi dari misi ini menutupi rasa nyerinya.

Mereka bergerak seperti dua hantu yang berbeda. Kusan, dengan tubuhnya yang kurus dan pengetahuannya yang mendalam tentang setiap lorong tikus di kota ini, meluncur melewati bayang-bayang dengan kelincahan seorang penduduk asli. Dirgantara mengikutinya, gerakannya lebih metodis, lebih efisien, implannya terus-menerus memindai lingkungan, menganalisis setiap suara, setiap bayangan, mencari ancaman.

“Citra ini,” kata Dirgantara sambil mereka berjongkok di balik sebuah barikade, menunggu sebuah patroli jip Inggris lewat. “Seperti apa dia?”

“Api,” jawab Kusan singkat. “Dia adalah api. Kecil, tapi membakar sangat panas. Ia datang entah dari mana beberapa minggu yang lalu. Mengaku sebagai jurnalis lepas untuk kantor berita Antara. Tapi kameranya selalu berada di tempat yang tidak seharusnya. Di garis depan, di tengah baku tembak. Para pejuang menyukainya karena ia tidak pernah takut. Para komandan … sedikit membencinya karena ia terlalu banyak bertanya.” Kusan tersenyum tipis. “Ia mengingatkanku pada Mbak Yu Sariyah saat masih muda, dari cerita-cerita yang kudengar.”

Ucapan itu membuat hati Dirgantara terasa hangat sekaligus perih.

Mereka akhirnya tiba kembali di kawasan Jembatan Merah. Suasananya kini jauh lebih tegang daripada saat siang hari. Obor-obor yang menyala di barikade-barikade pejuang menciptakan bayang-bayang panjang yang menari-nari dengan gelisah. Di seberang, lampu-lampu sorot dari pos-pos penjagaan Inggris menyapu jalanan dengan cahaya putih yang dingin dan tanpa ampun. Di antara kedua kekuatan itu, terbentang tanah tak bertuan yang sunyi, di mana satu letusan senjata saja bisa memicu sebuah neraka.

Mereka tidak menemukan Citra di warung kopi. Tempat itu kini telah kosong, hanya menyisakan gelas-gelas kotor dan bau tembakau yang basi.

Lihat selengkapnya