Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #5

Ujian di Garis Depan

Markas rahasia Gema di dalam bengkel percetakan tua itu kini terasa sesak, padat oleh keheningan yang berat dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terucap. Udara yang biasanya dipenuhi aroma tinta dan kopi pahit kini terasa tegang, bercampur dengan bau obat antiseptik dan ketakutan yang samar-samar.

Di lantai yang dingin, tiga agen Lembaga yang tak sadarkan diri tergeletak, tubuh mereka yang kekar kini tak berdaya, diikat dengan tali tambang. Napas mereka yang teratur menjadi satu-satunya suara yang konstan di ruangan itu, sebuah detak jantung aneh di tengah drama yang baru saja dimulai.

Mereka adalah trofi mengerikan dari sebuah pertempuran tak terlihat, dibawa ke sarang perlawanan oleh Bung Kusan dan beberapa pejuang muda lainnya yang bergerak dalam bayangan.

Citra, sang jurnalis foto, berdiri di seberang ruangan, lengannya bersedekap, tas kameranya yang besar tersampir di bahu seolah itu adalah perisainya. Rasa syoknya setelah diselamatkan kini telah sepenuhnya digantikan oleh naluri seorang pemburu berita. Matanya yang tajam di balik rambutnya yang sedikit acak-acakan bergerak dari tiga sosok yang tergeletak di lantai, ke wajah Bung Kusan yang gugup, lalu ke Sariyah yang tenang namun waspada, dan akhirnya, matanya terkunci pada Dirgantara.

Ia tidak lagi melihat seorang pahlawan. Ia melihat sebuah teka-teki, sebuah anomali yang berjalan dan bernapas, dan setiap serat dalam dirinya sebagai seorang jurnalis menjerit untuk memecahkannya.

“Jadi,” kata Citra, suaranya memecah keheningan, tenang dan mantap dengan cara yang mengejutkan. “Kau akan mulai menjelaskan sekarang, Bung Hantu? Atau haruskah aku mulai bertanya?”

Dirgantara bersandar di sebuah mesin cetak yang dingin. Luka di betisnya masih berdenyut sakit, sebuah pengingat konstan akan kerapuhannya di zaman ini.

Ia menatap perempuan muda di hadapannya.

Ia melihat api di dalam dirinya, api yang sama yang pernah ia lihat pada Tirto, pada Tjipto, pada semua jiwa pemberontak yang pernah ia temui. Api ini bisa menjadi sekutu terkuatnya, atau bisa membakarnya hingga hangus jika ia tidak berhati-hati.

“Apa yang ingin kau ketahui, Nona?” jawab Dirgantara, menggunakan persona Elias Suryo yang tenang dan sedikit lelah.

“Mari kita mulai dari yang paling jelas,” kata Citra, melangkah maju. “Orang-orang tadi itu. Mereka bukan orang Inggris. Mereka bukan orang Gurkha. Dan mereka jelas bukan pejuang kita. Mereka bergerak seperti mesin, dan senjata mereka … aku belum pernah melihat pistol seperti itu. Sunyi dan tidak mengeluarkan asap.”

Ia lalu menatap lurus ke mata Dirgantara. “Dan kau. Cara kau melumpuhkan mereka … aku berada di sana. Aku melihatnya. Itu bukan pencak silat. Itu bukan kuntao. Itu adalah sesuatu yang lain. Cepat, efisien dan dingin. Seperti seorang algojo, bukan seorang pejuang. Jadi, pertanyaan pertamaku adalah: di pihak mana kau sebenarnya bertarung, Elias Suryo?”

Ini adalah sebuah interogasi.

Dirgantara tahu, jawaban yang akan ia berikan akan menentukan segalanya.

Sebelum ia sempat berbicara, Sariyah melangkah maju, menempatkan dirinya di antara Dirgantara dan Citra.

“Dia berada di pihak kita, Citra,” kata Sariyah, suaranya tenang namun mengandung otoritas yang tak terbantahkan.

Citra menoleh pada Sariyah, komandan perlawanan bawah tanah yang sangat ia hormati.

“Dengan segala hormat, Mbak Yu Sariyah,” katanya. “Aku melihat apa yang kulihat. Dan aku mencium bau rahasia. Sebagai seorang jurnalis, aku tidak bisa mengabaikannya.”

“Dan sebagai seorang pejuang,” balas Sariyah dengan lembut namun tegas, “terkadang ada rahasia yang harus disimpan demi memenangkan perang. Kau harus percaya padaku dalam hal ini.”

Lihat selengkapnya