Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #6

Anatomi Sang Hantu

Ruangan di belakang bengkel percetakan itu telah berubah menjadi sebuah laboratorium darurat yang sunyi dan mencekam. Aroma timah dan tinta yang biasanya mendominasi kini tergusur oleh bau antiseptik yang tajam dan aroma samar dari keringat dingin.

Di bawah cahaya redup dari beberapa lampu minyak, tiga sosok tak sadarkan diri terbaring di atas meja-meja kayu yang kokoh, diikat dengan tali tambang yang kasar. Mereka bukan lagi para pemburu; mereka kini adalah spesimen, teka-teki mengerikan yang tergeletak diam, menunggu untuk dibedah.

Di sekeliling mereka, aliansi baru yang rapuh itu memulai pekerjaan mereka. Sariyah, dengan otoritas seorang komandan, telah memastikan ruangan itu steril. Pintu dikunci, jendela ditutup rapat, dan hanya mereka bertiga yang diizinkan berada di dalam. Wajahnya yang ditempa oleh puluhan tahun perjuangan tampak keras dan penuh perhitungan. Setiap gerakan agen-agen Lembaga adalah sebuah anomali yang harus ia pahami demi melindungi revolusi yang telah ia abdikan seumur hidupnya.

Di sudut lain, Citra berdiri, kameranya tergantung di leher seperti sebuah jimat pelindung. Api di matanya adalah campuran yang aneh antara ketakutan dan rasa lapar seorang jurnalis. Ia telah menyaksikan hal-hal mengerikan di garis depan, luka, kematian, kehancuran. Namun, tiga lelaki yang terbaring diam ini memancarkan aura ancaman yang berbeda, aura yang terasa asing dan tidak pada tempatnya di dunia ini. Ia mengangkat kameranya, tangan yang tadinya gemetar kini menjadi mantap. Ia bukan lagi korban yang ketakutan; ia adalah seorang saksi. Tugasnya adalah merekam kebenaran, bahkan jika kebenaran itu mustahil untuk dipercaya.

Di antara mereka, Dirgantara bergerak. Ia telah menanggalkan persona Elias Suryo yang lelah. Kini, ia adalah seorang analis, seorang ahli bedah lapangan. Wajahnya adalah topeng ketenangan yang dingin, sebuah topeng yang ia kenakan untuk menyembunyikan kelelahannya yang mendalam dan rasa muak yang familier. Ia mengenal jenis manusia ini. Ia tahu teknologi apa yang mungkin bersembunyi di balik kulit mereka. Ia telah bertarung melawan mereka, dan kini, ia harus membedah mereka, menunjukkan pada sekutu barunya anatomi sesungguhnya dari hantu yang sedang mereka buru.

“Kusan berjaga di luar,” kata Sariyah, memecah keheningan. “Kita punya waktu, tapi mungkin tidak banyak. Mulailah.”

Dirgantara mengangguk. Ia tidak mendekat dengan gegabah. Ia mengitari meja pertama, matanya yang tajam memindai setiap detail dari agen yang terbaring di sana. Lelaki itu bertubuh sempurna, otot-ototnya padat dan terdefinisi dengan cara yang nyaris tidak alami, seperti sebuah patung Yunani yang dihidupkan. Tidak ada bekas luka, tidak ada cacat. Bahkan giginya pun rata dan putih sempurna.

“Mereka adalah prajurit rancangan,” gumam Dirgantara, lebih pada dirinya sendiri. “Dipilih karena potensi genetik, lalu disempurnakan di laboratorium.”

“Rancangan?” ulang Citra, kameranya sudah terangkat, lensanya fokus pada wajah si agen.

“Diciptakan, bukan dilahirkan, untuk menjadi senjata,” balas Dirgantara.

Ia memulai pemeriksaannya. Dengan hati-hati, ia merogoh saku-saku pakaian agen itu. Kosong. Tidak ada dompet, tidak ada surat identitas, tidak ada satu pun benda pribadi yang bisa mengidentifikasi siapa dirinya. Bahkan pakaian yang mereka kenakan, meskipun tampak seperti pakaian pribumi biasa, terasa aneh saat disentuh. Bahannya terlalu kuat, jahitannya terlalu rapi.

Dirgantara mengambil sebilah pisau lipat kecil dari sakunya, sebuah alat sederhana yang terasa seperti artefak kuno di tangannya. Ia tidak menggunakannya untuk menyerang. Dengan presisi seorang ahli bedah, ia menekan gagang pisau itu di beberapa titik di tubuh si agen: di belakang telinga, di pergelangan tangan, di dasar tengkorak.

“Apa yang kau cari?” tanya Sariyah, matanya mengikuti setiap gerakan Dirgantara.

“Titik-titik akses,” jawab Dirgantara. Ia berhenti saat menekan sebuah titik di belakang telinga kanan si agen. Di bawah kulit, ia merasakan sebuah tonjolan kecil yang keras. “Di sini.”

Ia menatap Citra. “Ambil gambar ini.”

Citra mendekat, jantungnya berdebar kencang. Ia memotret area di belakang telinga itu, lalu memotret wajah Dirgantara yang begitu fokus. Di bawah cahaya lampu minyak, pemandangan itu terasa seperti sebuah ritual terlarang.

Dengan ujung pisaunya, Dirgantara membuat sebuah sayatan kecil dan dangkal di kulit. Darah tidak langsung mengalir deras. Sebaliknya, sebuah gel bening keluar lebih dulu, diikuti oleh aliran darah yang tipis.

Nanobot koagulan, pikir Dirgantara.

Dengan hati-hati, ia menggunakan ujung pisaunya untuk mengungkit sesuatu dari bawah kulit.

Sebuah benda kecil seukuran sebutir beras keluar, berkilauan dengan cahaya logam kebiruan. Benda itu memiliki beberapa titik kontak emas yang sangat halus.

Sariyah mencondongkan tubuhnya, napasnya tertahan. Ia pernah melihat teknologi Gema, namun tidak ada yang sekecil dan se-terintegrasi ini. Citra, dengan tangan gemetar, berhasil memotret implan kecil yang tergeletak di atas kulit yang berdarah itu.

Lihat selengkapnya