Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #7

Pengakuan di Ambang Kehancuran

00:13:56

Angka-angka digital berwarna merah darah itu berkedip tanpa suara di atas kotak logam hitam, namun denyutnya terasa seperti dentuman lonceng kematian di dalam keheningan ruangan yang tiba-tiba terasa begitu sempit dan menyesakkan.

Tiga belas menit.

Itu adalah seluruh sisa waktu yang dimiliki oleh dunia kecil mereka di dalam bengkel percetakan tua ini sebelum lenyap menjadi abu.

Bagi Citra, waktu seolah berhenti. Seluruh naluri jurnalisnya, seluruh keberanian yang telah ia kumpulkan di garis depan, luruh menjadi debu di hadapan teror yang begitu absolut dan tak terpahami.

Pikirannya menjerit.

Ini gila. Ini tidak nyata.

Ia menatap perangkat di atas meja, lalu ke dua agen lain yang terbaring diam, dan kengerian menjalari tubuhnya saat ia sadar bahwa ia sedang berbagi ruangan dengan tiga bom waktu manusia. Kakinya terasa lemas, dan ia harus bersandar ke dinding agar tidak jatuh. Kameranya terasa begitu berat di lehernya, sebuah beban yang sia-sia di ambang kehancuran.

Bagi Sariyah, waktu justru melesat dengan kecepatan yang mengerikan. Pikirannya sebagai seorang komandan langsung bekerja, memetakan skenario terburuk. Insting pertamanya adalah evakuasi.

“Kusan!” teriaknya ke arah pintu. “Keluarkan semua orang dari gedung ini! Sekarang! Perintahkan semua unit di sekitar untuk menjauh setidaknya dua ratus meter!”

Ia berbalik ke arah Dirgantara, matanya yang tajam kini dipenuhi oleh urgensi yang nyaris panik.

“Kita harus pergi, Raden Mas! Bawa Citra! Kita tidak bisa menghentikan ini!”

Namun Dirgantara tidak bergerak. Ia berdiri membeku, bukan karena takut, melainkan karena sebuah kalkulasi dingin yang sedang berpacu di dalam otaknya. Ia menatap angka-angka yang terus menyusut.

00:12:30

“Tidak,” katanya, suaranya tenang dengan cara yang mengerikan, sebuah ketenangan yang lahir dari keakraban dengan skenario-skenario seperti ini. “Kita tidak bisa pergi.”

“Apa maksudmu tidak bisa?!” seru Sariyah, tidak percaya. “Ini adalah perintah! Aku tidak akan membiarkan seluruh sel Gema di kota ini hancur karena …”

“Karena inilah yang mereka inginkan!” potong Dirgantara, akhirnya menatap Sariyah. Di matanya tidak ada kepanikan, hanya ada intensitas yang membakar. “Ini adalah protokol standar Lembaga, Sariyah. ‘Pembersihan Total’. Bom ini tidak hanya dirancang untuk membunuh agen yang tertangkap. Tujuan utamanya adalah menghapus semua jejak, semua bukti. Termasuk markas ini, dan semua data intelijen yang kau simpan di dalamnya. Jika kita lari sekarang, kita memang akan selamat. Tapi kita akan buta. Kita akan membiarkan Silas dan Sang Algojo bergerak bebas tanpa kita tahu apa rencana mereka selanjutnya. Kita akan menyerahkan Surabaya pada mereka di atas nampan perak.”

Logika dingin di balik kata-kata itu menghantam Sariyah lebih keras daripada ancaman ledakan itu sendiri. Ia menatap peta Surabaya di dinding, yang dipenuhi oleh catatan-catatan hasil kerja keras selama berbulan-bulan. Ia menatap tumpukan laporan intelijen di atas meja.

Dirgantara benar.

Meninggalkan semua ini berarti menyerah.

“Lalu apa?!” desak Sariyah, suaranya bergetar karena campuran antara amarah dan ketakutan. “Kita akan mati di sini bersama mereka?”

“Tidak,” jawab Dirgantara. Ia berjalan mendekati salah satu agen yang terbaring, yang paling muda di antara ketiganya. “Kita akan mendapatkan apa yang kita butuhkan. Lalu kita akan menghentikannya.”

Ia berlutut di samping agen muda itu. “Aku butuh stimulan. Amfetamin, adrenalin, apa saja yang kau punya,” katanya pada Sariyah tanpa menoleh. “Dan seember air dingin.”

“Untuk apa?”

“Untuk membangunkan salah satu dari hantu ini,” jawab Dirgantara. “Kita akan melakukan interogasi.”

Sariyah menatapnya seolah ia sudah gila. “Interogasi? Kita hanya punya waktu kurang dari sepuluh menit!”

“Maka itu akan menjadi interogasi tercepat dalam sejarah,” balas Dirgantara.

Tidak ada lagi waktu untuk berdebat. Dengan enggan namun percaya, Sariyah bergegas keluar untuk mencari apa yang diminta, sementara Citra, yang mendengar rencana gila itu, merasakan gelombang mual menghantamnya. Ia menekan tombol rekam di kameranya, bukan lagi sebagai seorang jurnalis, melainkan sebagai seseorang yang mencoba mendokumentasikan detik-detik terakhirnya.

Dirgantara memilih targetnya dengan cepat. Bukan pemimpin tim yang otaknya paling terindoktrinasi. Bukan pula yang paling kekar. Ia memilih yang termuda, yang profil psikologisnya ia perkirakan paling tidak stabil, yang paling mungkin hancur di bawah tekanan.

Lihat selengkapnya