Keheningan yang mengikuti berhentinya hitungan mundur terasa lebih memekakkan daripada ledakan yang mereka antisipasi. Di dalam ruangan yang berbau ozon dan ketakutan itu, waktu seolah mengambil napas, meninggalkan tiga orang yang masih hidup terdampar di tepian kehancuran.
Asap tipis mengepul dari unit daya yang kini mati di atas meja, sebuah monumen kecil bagi sebuah bencana yang berhasil dihindari.
Citra menurunkan kameranya dengan tangan gemetar, bunyi klik pelan saat ia meletakkannya di atas peti terdengar begitu nyaring. Ia menatap Dirgantara, yang perlahan bangkit dari lantai, lalu ke Sariyah yang membantunya berdiri, dan terakhir pada agen Lembaga yang menangis tersedu-sedu di sudut.
Realitas dari apa yang baru saja terjadi menghantamnya seperti gelombang pasang. Interogasi di bawah ancaman bom, pengakuan tentang sebuah konspirasi global, dan penyelamatan di detik-detik terakhir oleh seorang lelaki yang bergerak seperti hantu. Ini adalah cerita terbesar dalam hidupnya, dan ia nyaris tidak hidup untuk menceritakannya.
Sariyah adalah yang pertama memecah keheningan. Naluri komandannya mengambil alih, menekan sisa-sisa rasa takut.
“Kusan!” panggilnya dengan suara mantap.
Pintu terbuka dan Bung Kusan masuk dengan waspada, pistol tuanya teracung. Wajahnya yang tegang melunak saat melihat mereka semua masih utuh.
“Apa yang terjadi?”
“Ancaman sudah diatasi. Untuk saat ini,” jawab Sariyah. Ia menunjuk ke arah tiga agen yang tak berdaya.
“Bawa mereka. Pindahkan ke lokasi aman di luar kota. Aku ingin tim interogasi terbaik kita menangani mereka. Dapatkan setiap detail dari rencana Sang Algojo.” Matanya lalu beralih pada agen muda yang gemetar itu. “Terutama dia. Dia sudah retak. Jangan biarkan dia hancur sepenuhnya. Dia lebih berharga bagi kita dalam keadaan hidup dan bisa bicara.”
Saat orang-orang Gema bergerak cepat dan senyap, membawa pergi para tawanan dari masa depan, ruangan itu kembali terasa kosong, hanya menyisakan aroma kematian yang tak jadi datang bertandang.
Mereka telah menang.
Mereka mendapatkan nama dan garis besar rencana musuh.
Namun, tidak ada perasaan kemenangan. Informasi yang mereka peroleh terlalu mengerikan. Rencana untuk membunuh Soekarno, Hatta, dan Bung Tomo dalam satu ledakan dahsyat adalah sebuah skenario kiamat bagi revolusi yang baru lahir ini.
“Jadi, ini tujuan mereka,” bisik Citra, akhirnya menemukan kembali suaranya. “Bukan hanya untuk merebut kembali kekuasaan. Mereka ingin membakar habis semuanya.”
“Kekacauan adalah tujuan mereka,” kata Dirgantara, suaranya lelah. Ia bersandar di dinding, rasa sakit di betisnya kembali terasa menusuk seiring memudarnya adrenalin. “Mereka ingin membuktikan pada dunia bahwa kita adalah bangsa barbar yang tidak mampu memerintah diri sendiri, yang hanya bisa saling membunuh saat ditinggalkan sendirian. Dan mereka akan menciptakan bukti itu dengan tangan mereka sendiri.”
Saat itulah, suara dari dunia luar menerobos masuk ke dalam benteng kertas mereka. Suara sirene yang melolong dari kejauhan, diikuti oleh rentetan tembakan senjata mesin yang kini terdengar lebih dekat, lebih marah. Lalu, pintu bengkel kembali terbuka dengan kasar. Bung Kusan, yang baru saja kembali, berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat.
“Mbak Yu, gawat!” serunya, napasnya tersengal. “Kota ini meledak!”