Tawarikh Nusantara - Kitab Kelima: Jantung Revolusi

Kingdenie
Chapter #9

Wajah Sang Algojo

Suara Bung Tomo yang berapi-api masih menggema dari corong radio yang berderit, memenuhi bengkel percetakan yang kini terasa seperti pusat saraf dari sebuah kota yang sedang kejang. Namun, bagi tiga orang yang berdiri di dekat peta Surabaya, suara itu tidak lagi membawa gelombang semangat, melainkan gema dari sebuah ancaman yang baru dan mengerikan. Setiap pekikan “Merdeka atau Mati!” kini terdengar seperti hitungan mundur.

“Dia tidak akan menunggu,” kata Dirgantara, suaranya memecah keheningan di antara mereka. Ia tidak lagi menatap peta. Pikirannya sudah berada di jalanan, mencoba memetakan pergerakan sesosok hantu lain. “Silas, atau siapapun Sang Algojo itu, dia adalah seorang profesional. Dia mendengar apa yang kita dengar. Dia melihat target yang sama seperti yang kita lihat. Dia sudah bergerak.”

Sariyah mengangguk, wajahnya mengeras. Sebagai komandan, ia langsung beralih ke mode operasional.

“Kusan, kumpulkan tim kecil. Bawa senjata terbaik yang kita punya. Kita harus ke sana, peringatkan Bung Tomo, berikan perlindungan.”

“Terlambat,” sahut Dirgantara. “Mengirim tim hanya akan menarik perhatian patroli Inggris. Kita akan terjebak dalam baku tembak sebelum sampai di sana. Musuh kita tidak bergerak seperti pasukan, dia bergerak seperti bayangan. Kita harus melawannya dengan cara yang sama.”

“Lalu apa rencanamu?” desak Sariyah.

“Aku dan Kusan akan pergi,” kata Dirgantara. “Hanya kami berdua. Kami akan bergerak lebih cepat, lebih senyap. Tugas kami bukan untuk memulai pertempuran, tetapi untuk mencegah sebuah pembunuhan.”

Sariyah menatapnya, matanya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.

“Kakimu …”

“Kakiku akan baik-baik saja,” potong Dirgantara, menekan rasa sakit yang masih berdenyut di betisnya. “Kita tidak punya waktu untuk ini.”

“Aku ikut,” sebuah suara yang mantap terdengar dari sudut ruangan. Citra melangkah maju, kamera Leica-nya tergantung di leher seperti sebuah medali keberanian. Ketakutan di matanya telah sirna, digantikan oleh api keras kepala yang sama yang Dirgantara lihat pada Sariyah. “Kau bilang aku akan mendapatkan ceritanya. Aku tidak bisa menulis cerita jika aku hanya duduk di sini mendengarkan radio.”

Dirgantara hendak menolak, namun Sariyah mendahuluinya. Ia menatap Citra lama, seolah sedang menimbang jiwa perempuan muda itu.

“Kau tahu ini bukan sekadar meliput berita, bukan?” katanya lembut. “Kau bisa terbunuh.”

“Aku seorang jurnalis perang, Mbak Yu,” balas Citra, sebuah senyum tipis yang getir tersungging di bibirnya. “Kematian adalah risiko pekerjaan.”

Sariyah menghela napas, melihat cerminan dari dirinya sendiri di masa muda dalam diri Citra. Ia mengangguk pada Dirgantara.

“Bawa dia. Tapi jika terjadi sesuatu padanya …” Ancaman itu tidak perlu diselesaikan.

Perjalanan menembus Surabaya di malam hari adalah sebuah perjalanan melintasi neraka yang sedang mendidih. Kota itu kini benar-benar telah menjadi medan perang. Di kejauhan, api melahap gedung-gedung peninggalan Belanda, melukis langit malam dengan warna jingga yang mengerikan. Suara tembakan terdengar dari segala arah, terkadang jauh, terkadang begitu dekat hingga mereka bisa mendengar selongsong peluru yang jatuh bergemerincing di atas aspal.

Mereka bergerak dalam formasi segitiga yang senyap. Kusan di depan, menjadi mata dan telinga mereka, membimbing mereka melewati jalur-jalur tikus yang tak terbayangkan. Citra di tengah, tubuhnya tegang, kameranya tersembunyi di balik jaketnya, matanya yang waspada merekam setiap detail mengerikan dari kehancuran kotanya. Dan Dirgantara di belakang, menjadi perisai mereka, inderanya yang disempurnakan oleh implan bekerja maksimal, merasakan setiap getaran, setiap bayangan yang bergerak secara tidak wajar.

Ia bisa merasakan kehadiran musuh-musuh lain di kota ini. Patroli-patroli Inggris yang gugup, laskar-laskar pemuda yang bersemangat namun tak terduga. Namun, ia tidak merasakan kehadiran yang ia cari.

Tidak ada jejak energi, tidak ada anomali.

Sang Algojo benar-benar seekor hantu.

Setelah perjalanan yang menegangkan, mereka akhirnya tiba di sebuah jalan kecil yang relatif tenang di dekat stasiun radio darurat. Tempat itu adalah sebuah rumah tinggal dua lantai yang tampak biasa saja, terjepit di antara toko kain dan sebuah warung sate yang telah ditinggalkan. Di depannya, beberapa pemuda bersenjatakan karabin tua dan bambu runcing berjaga dengan postur yang tegang namun penuh kebanggaan. Mereka adalah para pelindung suara revolusi.

Lihat selengkapnya